Senin, 02 Mei 2016

Diskusi Umum 19 April









Oleh : Juaneitta Tyas D. dan Alamsyah

Hari/Tanggal : Selasa, 19 April 2016
Tempat : Ruang 9.205 Gedung IX FIB UI
Waktu : 16.30 - 18.15

Feminisme : Emansipasi Wanita Menghadapi Budaya Modern

         Di Indonesia, kasus-kasus kekerasan domestik perempuan masih banyak terjadi. Lebihnya lagi, hal ini masih merupakan aib dalam lingkungan masyarakat. Status aib dalam kasus inilah yang kemudian menjadi hambatan bagi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk kemudian melakukan advokasi terhadap kasus domestic semacam itu. Dalam masyarakat islam di Indonesia, stigma ‘perempuan sholehah’ kemudian menjadi pertanyaan besar yang membentengi diri perempuan itu sendiri. Terlebih label seperti itu terus saja menjadi hambatan bagi para perempuan untuk mengakui kekerasan yang mereka terima di dalam lingkup domestic (rumah tangga). Kasus-kasus domestic yang dialami oleh perempuan muslim di Indonesia (biasanya dalam lingkup institusi keagamaan seperti pesantren) dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk diangkat ke permukaan atau diselesaikan secara hukum.

        Semasa mengabdi di migrant care, pembicara menemui banyak kasus-kasus domestic yang dialami wanita. Seperti kasus pernikahan di bawah umur karena kondisi finansial keluarga yang tidak mencukupi, perceraian, dan kasus-kasus lainnya. Untuk mengadvokasi kasus semacam itu, diperlukan adanya sesi konsultasi antara lembaga dan korban, serta kompromi antara korban dan pelaku.

          Yang menarik dalam sesi ini adalah pembicara mengungkapkan bahwa adanya tafsir misoginis dalam kitab-kitab semacam Al-Quran menurut para feminis islam. Seperti misalnya istilah ‘tulang rusuk laki-laki’ yang merupakan label seorang perempuan. Tidak disebutkan sama sekali mengenai hal ini dalam kitab-kitab suci. Kemudian, para feminis islam berusaha untuk membangun diskursus baru yaitu reinterpretasi kitab suci. Pengalaman perempuan pun juga harus menjadi landasan dalam menafsirkan kitab suci. Kampanye-kampanye pun terus dilakukan oleh perempuan di kalangan institusi islam, seperti warung anti poligami yang dimilliki istri dari Gus Dur). Hal ini membuktikan bahwa budaya patriarkal masih sangat kental pada budaya islam.

       Di sisi lain, feminisme juga menjelaskan bahwa Suatu tindakan, suatu pemikiran yang berusaha menghilangkan patriarki untuk keadilan sosial, ekonomi, politik, dan budaya bagi perempuan. Feminisme mengalami tiga gelombang yaitu Gelombang pertama saat perempuan memulai untuk meminta hak-hak dasar mereka dalam mengakses ekonomi, berpartisipasi dalam politik, mendapat hak reproduksi, dan untuk mendapatkan kesempatan kerja. Adapun pada gelombang kedua yang mencuat pasca- Perang Dunia II. Sehingga pada saat itu wanita ditarik secara paksa hingga ke ranah publik. Sementara, ketika sampai pada gelombang ketiga terjadi saat media berperan besar yang membuat kecendrungan baru yang menjadikan perempuan ditindas. Penindasan ini melalui pornografi yang membuat perempuan terkesan tidak berdaya. Dalam pandangan feminisme, perempuan perlu disetarakan karena merupakan sentral yang memiliki rahim untuk dapat melahirkan pekerja, tetapi memiliki akses yang terbatas.


Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi :
Narahubung : 087877422927 (Alamsyah)
IG : @cangkirputihui
Twitter : @cangkirputihui

Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan