Sabtu, 31 Desember 2016

SELAMAT TAHUN BARU



Tak terasa sebentar lagi bergantinya tahun. Sudah berapa kisah yang sudah dilewati. Ilmu, pikiran serta hati yang tulus menyertai kita semua dalam menutup tahun ini. Segenap rekan Cangkir Putih FIB UI 2016 mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh elemen, baik itu mahasiswa maupun khalayak umum yang telah mendukung acara Cangkir Putih FIB UI di tahun ini.

Tetap jaga hangatnya kebersamaan diantara kita.

Terima kasih

Sampai jumpa di tahun 2017


Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan

Dr. Strange, Tubuh Astral dan Filsafat



(oleh Dr Hizkia Yosie Polimpung | Director Purusha Research Cooperative)


Sekitar abad ke-16, di Eropa merebak ketakutan akan hantu roh jahat (poltergeist). Hal ini membuat agama, berikut para agamawan saat itu menjadi “laris.” Satu hal yang tidak orang pada saat itu adalah bahwa sebenarnya roh jahat tersebut hanyalah efek visualisasi cermin yang spesial. Spesial, karena ia disebut ‘katoptrik’. Efek katoptrik ini sebenarnya adalah eksperimentasi ilmuwan geometri dan para filsuf skolastik dengan cermin dan perspektif. Melalui eksperimen ini mereka mencari justifikasi merefleksikan pemikiran-pemikirannya mengenai deformasi dunia, ke dunia itu sendiri. Singkatnya, dengan penataan tertentu, sebuah cermin tidak merefleksikan obyeknya, melainkan memantulkannya justru di udara. Bagi orang tidak memahami ini, ia tentu saja akan melihat “hantu.”

Tidak hanya di udara, imaji yang dipantulkan itu pun terdeformasi sehingga wujudnya menjadi terdistorsi. Sontak pemandangan ini merangsang perasaan ngeri dan horor di pihak subyek. Kita bisa melihat bagaimana dalam eksperimen katoptrik, suatu obyek “roh jahat” merupakan efek pantulan cermin yang adalah buah eksperimentasi saintifik dan filosofis. Singkat cerita, eksperimen ini lebih memiliki efek pseudo-saintifik-filosofis ketimbang sumbangsih intelektual yang diharapkan. Bahkan, pada perkembangannya, skolastisisme analitik dari mana ide eksperimen katoptrik ini dicetuskan malah menjadi preseden bagi munculnya cabang pseudo-ilmu Natural Magic.

Saya tidak akan membahas ini Natural Magic ini, melainkan suatu provokasi pemikiran naturalis untuk melangkah ke ranah yang bisa jadi adalah bagian dari yang disebut-sebut ‘magis’. Melalui eksperimen katoptrik di atas sebenarnya kita sudah melihat betapa apa yang dikira orang “roh jahat” hanyalah suatu fakta yang sengaja diciptakan melalui cara-cara yang notabene imiah dan bahkan filosofis. Pertanyaan untuk hari ini dengan demikian, saat melihat isu-isu yang jatuh pada domain ‘magis’, ‘supranatural’, ‘paranormal’, dst., apakah kita akan menjadi orang-orang abad 16 yang dibikin ketakutan terhadap roh jahat katoptrik, dan terbirit-birit melarikan diri di balik ketiak agama, tanpa mampu berpikir dan menginvestigasi roh tersebut? Apakah kita juga terhitung orang-orang yang lebih cepat memberikan diri untuk diselimuti ketakutan itu? Atau mereka yang menghambakan diri pada ketakjuban, dan kemudian menandatangani kontrak Faustian dengan “setan”—yi. bergabung ke dalam dunia katoptrik tersebut?

Hari-hari ini filsafat nampaknya bernasib seperti orang-orang yang ketakutan tersebut dan segera melarikan diri, entah ke altar religius, atau ke asketisisme filosofis. Soalnya, agaknya filsafat alergi untuk mengonfrontir hal-hal magis dan supranatural ini. Apa yang bisa dilakukan filsafat, semisal untuk menjelaskan fenomena santet? Atau misalnya telepati, extrasensory perception (ESP), dll. Bagi filsafat, ini bahkan bukan persoalan yang valid untuk difolosofisasi. Alhasil, mereka yang berjumpa langsung dengannya akan bernasib salah satu dari dua pilihan di atas—berdoa tekencing-kencing, atau menjadi budak ketakutannya.

Psikoanalisis, misalnya, tidak pernah benar-benar mengonfrontir fenomena trans (trance). Pasca Freud membuang metode hipnotisme, praktis tradisi psikoanalisis memusuhi “ilmu” ini. Sebagaimana diketahui, Freud menolak hipnotisme karena sang klien selalu lupa akan proses analisis-terapinya selama tidur hipnosis. Bagi Freud, apa artinya ini bagi pemulihan psikis subyek kalau toh ia lupa. Sebenarnya, di perkembangannya yang lebih modern, para hipnotis sudah bisa mengatur amnesia ini sehingga sang klien tidak harus lupa saat selesai sesi hipnoterapinya. Namun demikian, pintu gerbang diskusi sudah tertutup. Bahkan Jacques Lacan, saat tahu salah seorang di antara murid terbaiknya belajar hipnotisme, ia dengan segera mengeluarkannya dari asosiasi. 3 Hal ini saya kira tidak terjadi hanya di psikoanalisis, namun hampir seluruh cabang filsafat. Bahkan, mistisisme adalah label pengusir yang ampuh, selain teologi, untuk menunjukkan bahwa suatu filsafat terjebak ke dalam metafisika. Alhasil, filsafat menjauhkan dirinya dari persoalan-persoalan supernatural ini, tanpa pernah menyentuh dan memertanyakan efek-efek fisikal dari ini semua. Persis seperti psikoanalisis yang tidak memiliki sedikit pun penjelasan mengenai, misalnya, bagaimana mungkin seorang ibu berumur 67 tahun bisa mengangkat Inova,4 atau seseorang bisa nge-fly hanya dengan sugesti hipnotik bahwa rokok yang dihisapnya adalah ganja? Paling jauh penjelasan kita standar: "ah tipuan kamera" sebuah ungkapan ke pelarian altar rasio, yang sebenarnya juga tidak benar-benar dipahami.

Alhasil filsafat memertahankan, dan mengabaikan tegangan kedua ranah ini: rasional-saintifik dan irasional-supernatural. Dalam khazanah Holywood kontemporer, filsafat yang demikian ini menubuh dalam sosok Dr. Strange.

[SPOILER ALERT !] Dr. Stephen Strange, karena frustrasi dengan dunia medis modern, ia mencoba untuk menjajal keampuhan dunia mistik. Ia berjumpa dengan orang-orang dari Kamar-Taj yang mengatakan bahwa kunci kesuksesannya di sini adalah: "lupakan semua yang kamu ketahui sampai saat ini." Benar saja, saat Dr. Strange dipaparkan bahwa kuncinya adalah ‘percaya’, sontak rasionalitasnya berontak. Pengalaman akademis dan profesionalnya “tidak mengizinkan” Dr. Strange untuk memercayai seni-seni berbasiskan kepercayaan pada chakra, tenaga dalam, dan energi kosmik. Lihat saja betapa terperanjatnya Dr. Strange saat ia dicicipkan untuk sejenak keluar dari tubuhnya melalui proses proyeksi astral yang disengajakan (induced).

Disepanjang film, nampak jelas bagaimana Dr. Strange tetap tidak menerima ini, yaitu kenyataan bahwa ia adalah ahli ilmu mistik. Kita ingat momen-momen ini tentunya. Saat pertama kali ia ditunjukkan dunia cermin, Dr. Strange mengatakan, “this does not make any sense!” Dan kata si botak Ancient One, “not everything does. Not everything has to.” Dr. Strange harus mampu, dengan kata lain, untuk menjadi tidak make-sense, untuk menunda atau mengekang akalnya, untuk memberikan pengecualian (exception) bagi rasionalitas, untuk supaya keajaiban Kamar-Taj bisa terjadi padanya. Tidak hanya itu, Dr. Strange harus “studying and training” untuk bisa menguasai ini semua. Apa yang dipelajari dan dilatih? tidak lain adalah menjadi tidak masuk akal! Momen lainnya adalah saat Dr. Strange dianugerahi gelar “Master” oleh si Botak. Apa kata Dr. Strange?—“I am not a master. I am a doctor: Dr. Strange!” Jawaban serupa dilemparkannya saat perjumpaan pertamanya dengan Kaecilius. Dr. Strange, dengan kata lain, hidup di antara tegangan dua dunia: sains dan mistik. Saat masuk di dunia mistik, ia harus menutup mata rasionalnya; sementara di dunia sains, ia harus menutup kitab-kitab mistiknya. Mistisisme, bagi Dr. Strange ini, tepat seperti formulasi Lacanian tentang keganjilan (uncanny), "I am certain of it, yet I am not ready to believe it.”5 Tapi, bukankah ini juga posisi kita semua terhadap keganjilan dari dunia mistik dan supernatural?

Saya tidak ingin masuk ke argumen standar ala Marvel (dan saya rasa seluruh film sci-fi standar). Yaitu bahwa sains dan magic adalah berbatasan secara kabur. Bahwa magic adalah akan tetap menjadi magic sampai kita memahaminya, dan berubahlah ia menjadi sains. Seperti ucapan modusnya Thor, “your ancestor called it magic, and now you call it science. I come from the place where they are one and the same thing.” Suatu efek yang bisa jadi juga dirasakan.

Tapi apabila kita sepakat dengan ini, maka sebenarnya kita hanya akan membungkam magic atas nama kedaulatan rasio. Kita akan melucuti aura magisnya dan menggantikannya dengan selimut formulasi saintifik, tanpa pernah memertanyakan efek auratis dan magisnya tersebut. Rasio tidak benar-benar berani menerima suatu kenyataan bahwa sebenarnya ada yang lain selain dirinya (wholly other). Biasanya, ini segera diikuti

Ungkapan-ungkapan yang menderita metafisika Prinsip Alasan Berkecukupan, “pasti ada alasannya! Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa alasan!” Ketimbang suatu statemen filosofis yang berani, ungkapan tadi sayangnya tidak lebih dari sekedar anestesia untuk menenangkan diri saja. Singkatnya, jalur ini bermasalah.

Sebenarnya, posisi Dr. Strange dan Kamar-Taj-ian lainnya juga adalah yang kita pegang saat berjumpa dengan hal-hal yang tidak mampu kita pahami. Saat melihat fenomena-fenomena yang tak terpahami ini terjadi, sama seperti Dr. Strange, kita menutup mata rasio kita tanpa berusaha menggenjotnya lebih jauh lagi, tanpa berusah memeriksa bahwa jangan-jangan cara berasio saya yang kurang tepat sehingga peristiwa ini tidak terpahami. Boro-boro demikian, dengan rasio kita langsung mengetokkan palu judgement rasional terhadap fenomena tersebut. Bisa kita daftar fenomena-fenomena yang tak terpahami yang dengan cepat kita beri judgement: ekstrimisme religius, irasionalitas kekuasaan, kedunguan penguasa yang sialnya berkuasa, ketak-terperian ketimpangan, dan hal-hal lain yang membuat Inul bernyanyi “saiki zamane zaman edan.” Padahal, tanpa mengonfrontir hal-hal supra-natural ini, kita justru berpotensi membiarkannya terus ada, tak terpahami. Kalau ini adalah seputar fenomena astral, misalnya, saya sih akan suka-suka saja. Namun lain soal kalau ini adalah segerombolan ekstrimis yang terus menebar ketakutan yang sialnya mereka dipelihara oleh penguasa yang juga ingin membuat kita semua ketakutan karena dengan demikian mereka punya alasan untuk berkuasa. Seperti kata Athena:
"never banish terror from the gate; that’s how your people may fear you.”

Tapi, persoalannya, bisakah rasio masuk ke dunia nir-rasio dan berusaha memahaminya?  Problem ini, yang saya sebut ‘problem astralitas’, adalah sesuatu yang harus dijawab oleh filsafat dan bukan dihindari.

Sumber Gambar: Deadpool UI


Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan

Outsider Art - Sebuah Catatan Seni Orang Gila



(oleh: Irfie Maellanie | Alumni Filsafat Universitas Indonesia)


No great genius has ever existed without a strain of madness
(Aristotle)

Gangguan mental kerap kali dianggap sebagai sebuah kondisi yang melumpuhkan penderitanya secara kognitif dan berimplikasi pada kemampuannya sebagai makhluk sosial dalam masyarakat. istilah orang gila untuk menyebut individu yang bertingkah di luar norma sosial dan etika yang disepakati dalam masyarakat seolah secara otomatis menempelkan stigma bahwa individu yang menderita gangguan psikotis hilang esensinya sebagai manusia yang dapat berpikir dan bersikap secara rasional, karena ketika seorang individu dinyatakan gila, maka artinya individu tersebut tidak rasional. Namun, bagaimana konteks irasionalitas yang ada dalam gangguan mental ini jika ditarik hubungannya pada seni? Adalah hal yang dirasa wajar dan sudah menjadi semacam inside joke skala global bahwa para pekerja seni mengidap disorder atau gangguan, entah pada kepribadiannya atau pada kejiwaannya.


Banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana kejeniusan sering diasosiasikan dengan gangguan mental. Vincent van Gogh disebutkan menderita bipolar, di luar konteks seni, filosof jenius, Immanuel Kant disebut memiliki personality disorder, dan bagaimana Beethoven yang merupakan komponis ternama dunia dapat menciptakan komposisi musik sedangkan ia menderita tuli? Lain halnya dengan Hector Berlioz. seorang komponis dari Perancis di jaman Romantik. Berlioz dengan sengaja menggunakan opium untuk merasangsang produktivitas kreatifnya. Bryan Lewis Saunders melakukan percobaan terhadap efek jenis obat-obatan dan melukis dirinya sendiri ketika ia dalam pengaruh obat tersebut. Hasilnya, masing-masing obat-obatan yang digunakannya, mulai dari crystalmeth, kokain, hingga obat batuk merubah perspektif atas dirinya sendiri yang dapat dilihat dari hasil lukisan-lukisannya.

Dalam sejarah perkembangan dunia seni lukis, kita mengenal aliran Surealisme, Kubisme, Romantisme, Impresionisme, Ekspresionisme, Naturalisme, Realisme, Fauvisme, Dadaisme, Futurisme, Pop Art, Abstraksionisme, dan masih banyak lagi aliran dan jenis seni lukis lainnya yang terus berkembang sebagai konsekuensi semangat zaman yang dinamis. Namun di tengah perkembangan seni tersebut, lahir jenis seni yang mengakomodasi seniman-senimannya yang mengalami gangguan jiwa. Seni tersebut bernama Outsider Art.

Sejarah kemunculan seni ini mengikuti perubahan paradigma terhadap penanganan orang-orang yang menderita gangguan mental. Tidak ada catatan pasti siapa orang pertama yang menderita gangguan jiwa, tetapi orang-orang yang menderita gangguan mental pernah mengalami sejarah kelam dalam penanganan penyakitnya. Mulai dari penanganan dalam bentuk doa-doa, pengurungan, pemasungan, diet, suntik insulin, perintah bedrest dari dokter, hingga percobaan operasi otak yang justru malah merusak fungsi otaknya itu sendiri. Orang-orang yang mengalami gangguan mental mulai diperlakukan sebagai manusia setelah kematian Freud. Salah satu terapi yang diberikan kepada pasien yang dirawat di insitutsi psikiatri adalah dengan seni atau disebut juga sebagai art therapy.

Ketertarikan terhadap seni yang dilahirkan dari institusi psikiatri dimulai dari penemuan Jean Dubuffet atas karya-karya yang tidak biasa tersebut di institusi psikiatri di Prancis dan Swiss setelah Perang Dunia II. Singkatnya, penemuan karya-karya yang dilahirkan oleh pasien institusi psikiatri ini dianggap sebagai sebuah penemuan yang mengafirmasi bahwa orang gila menciptakan karya yang juga gila. Mengutip Maclagan, paling tidak ada dua alasan mengapa seni ini menjadi istimewa. Pertama karena karena seni yang dilahirkan di institusi psikiatri ini bukanlah seni yang selama ini kita kenal, dan kedua karena penciptanya seolah-olah tidak memiliki motif biasa dalam penciptaan karyanya. Motif ini disebut oleh Freud sebagai fame, money, and the love of women atau popularitas, uang, dan kecintaan terhadap perempuan.

Konsep Outsider Art sendiri menawarkan cakupan yang lebih luas, artinya seni ini bukan hanya eksklusif milik orang-orang psikotis yang dirawat di institusi psikiatri. Maclagan mendefinisikan Outsider Art sebagai seni yang diciptakan oleh orang-orang yang tidak mengikuti ekspektasi sosial dalam hal nilai-nilai dan definisi kenormalan hingga para penciptanya sendiri tidak merasa atau mengklaim dirinya adalah seniman. Sebuah seni yang tidak berhutang pada kebudayaan, seni yang tidak memiliki tempat dalam buku atau museum apapun. Dengan kata lain, para senimannya adalah orang-orang yang merasa bahwa dirinya tidak memenuhi persyaratan konvensional, baik secara sosial, psikologis,  maupun artistik pada kebudayaan yang mereka hidupi. Outsider Art sendiri bagi Dubuffet tidak dapat dibandingkan dengan cultural art, karena seni ini merupakan seni yang superior karena memuat ekspresi yang tanpa basa-basiia diciptakan begitu saja sebagai sebuah bentuk ekspresi seni yang murni.

Seni sebagai salah satu upaya untuk memahami mind para seniman yang gila bukanlah merupakan hal yang aneh dalam dunia psikiatri. Yang menjadi dasar pemikirannya adalah gagasan bahwa seni sebagai terapi dalam praktek di institusi psikiatri merupakan ekspresi yang subversif dan individualistik, namun disaat yang bersamaan merupakan proses otomatis hasil kerja ketidaksadaran.

Tidak diketahui secara pasti jika Berlioz menderita gangguan mental, tetapi penggunaan opium (yang semula bertujuan untuk menghilangkan sakit giginya) untuk merangsang kreativitasnya paling tidak menunjukkan bahwa ada sesuatu yang ditawarkan oleh gangguan atau disorder kepada orang-orang yang menciptakan karya dari kemampuan mereka berimajinasi. Sebuah perspektif yang berbeda yang hanya bisa dilihat dari kacamata sebuah disorder.

Menghubungkan kondisi kejiwaan seniman dengan karya seninya, maka seni yang dilahirkan dari perspektif kreativitas orang gila yang dimarjinalkan dari aturan kebudayaan sosial seolah menggugat posisinya dalam narasi besar seni. Nama-nama besar dalam seni seperti van Gogh dan Beethoven yang karyanya dipuja dalam cultural art, setelah ditelusuri ternyata mengalami gangguan pada kejiwaannya. Sudah saatnya pula, karya para hidden geniuses yang ada di balik pintu kamar institusi psikiatri dianggap serius dalam diskursus narasi seni.


Sumber:

Blom, Jan Dirk. 2010. A Dictionary of Hallucinations. London: Springer.

Carota, Antonio, et al. 2005. dlm. Understanding Van Gogh's Night: Bipolar Disorder.

Neurological Disorders in Famous Artists Part 1. Basel: Karger.

Guard, Oliver dan François Boller. 2005. dalam. "Immanuel Kant: Evolution from a Personality 'Disorder' to a Dementia". Neurological Disorders in Famous Artists Part 1. Basel: Karger.

Hayter, Alethea. 1986. Opium and the Romantic Imagination. Berkeley and Los Angeles, California: University of California Press.

Maclagan, David. 2009. Outsider Art From the Margins to the Marketplace. London: Reaktion Books, Ltd.

Rosen, Charles. 1972. The Classical Style: Haydn, Mozart, and Beethoven. New York: W.W.Norton & Company.

Saunders, Bryan Lewis. tt. Under The Influence. http://bryanlewissaunders.org/drugs/

Wolf, Paul L. 2010. dlm. "Hector Berlioz and Other Famous Artists with Opium Abuse". Neurological Disorders in Famous Artists Part 3. Basel: Karger.

Sumber Gambar:

Daniel Johston Outsider Art


Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan

YouTube dan Kosmologi Digital


(oleh Fajar Aji | Mahasiswa Filsafat UI)

Latar Belakang YouTube

YouTube adalah sebuah situs media sosial video yang bermarkas di San Bruno, California, Amerika Serikat. Didirikan oleh Steve Chen, Chad Hurley dan Jawed Karim, yang merupakan 3 mantan pegawai PayPal dan pertama kali diluncurkan pada Februari 2005, secara resmi pada bulan Desember. Ide awal dari ketiga founder dari YouTube ini cukup unik, Karim ketika itu merasa kesulitan karena video viral di Amerika ketika itu tidak bisa ia temukan, sedangkan Chen dan Hurley terinspirasi oleh situs kencan dan merasa penting bagi pengguna situs kencan untuk menaruh video sebagai promosi bagi diri mereka sendiri, dari dua ide yang cukup aneh tersebut terciptalah YouTube. Video pertama yang diunggah di situs ini berjudul Me at the Zoo, sebuah dokumentasi singkat dari Karim di Kebun Binatang San Diego. Setelah situs ini berkembang, Google kemudian mengakuisisi situs ini pada November 2006 dan hingga hari ini, YouTube adalah salah satu aset besar yang dimiliki perusahaan teknologi tersebut.

Dengan semakin besarnya YouTube sebagai wadah berbagi video, para content creator, atau sebutan lain untuk YouTuber, menjadi lebih kreatif dengan apa yang ingin sajikan. Sehingga banyak anggapan, YouTube adalah sebuah alternatif baru atas sajian visual dibandingkan dengan televisi. Konten yang disajikan kreator di YouTube sangatlah beragam. Dari konten positif seperti edukasi, musik, komedi, reactions, dan film pendek, dengan munculnya beberapa channel seperti Wisecrack, Game Theorist, Fine Brothers Entertainment, Boyce Avenue, Kurt Hugo Schneider dan Tyler Oakley. Hingga konten “negatif", seperti Dark Humor, social commentary, horor dan hal-hal yang masih dalam sirkulasi perdebatan sosial, dengan channel seperti iDubbbzTV, h3h3productions, dan tidak lupa, TVFilthyFrank. Para YouTuber ini kemudian mendapatkan penghasilan dari Google AdSense, dimana Google dengan para YouTuber melakukan kerjasama yang kemudian Google akan menaruh iklan pada awal, tengah atau akhir video, tergantung dari durasi video yang diunggah.

Censorship, Hyper reality, dan Privacy

YouTube sendiri bukanlah sebuah situs tanpa masalah. Beberapa persoalan seperti copyright and fair use serta censorship mengemuka diakhir-akhir ini. Seperti dalam dunia industri lainnya, dua permasalahan ini kemudian muncul ketika banyak YouTuber dalam proses pembuatan video mereka menggunakan musik atau potongan-potongan video dari pihak lain ataupun penggunaan kata-kata (yang bagi pihak YouTube) kasar ataupun tidak sesuai dengan community guideline. Dari segi copyright ataupun fair use, sebenarnya beberapa content creator di internet (entah di YouTube ataupun situs lainnya) biasanya menyantumkan bagaimana karya mereka hadir dalam ruang lingkup hak cipta. Akan tetapi, dalam beberapa kasus para YouTuber mengeluhkan beberapa copyright strike yang dilakukan YouTube tidak memiliki alasan jelas, juga terkadang pihak yang melancarkan strike tersebut justru bukanlah pihak yang bersangkutan. Tidak jarang juga dilancarkan pihak-pihak perusahaan besar dan bagi sebagian YouTuber ini adalah sebuah kelaliman YouTube untuk melindungi perusahaan besar. YouTube melakukan ini bukanlah tanpa dasar, banyak gugatan hukum atas hak cipta dilakukan beberapa organisasi seperti Viacom, Mediaset dan English Premier League berhasil membuat YouTube kalang kabut dengan biaya kerguian yang dapat mencapai milyaran Dollar Amerika. Gugatan tersebut, bisa jadi, adalah alasan mengapa perihal copyright dan fair use ini semakin diperketat.

Pada tahun 2016, permasalahan censorship menjadi perhatian utama setelah YouTube mengeluarkan (baca: menggalakkan) peraturan advertiser-friendly guidelines. Aturan ini kemudian semakin memperkuat asumsi YouTuber mengenai “YouTube berusaha menyenangkan perusahaan besar dan ‘uang’ mereka”. Peraturan ini mengandung kontroversi dengan adanya butir-butir aturan yang memiliki unsur ketidakjelasan di dalamnya, dari larangan penggunaan kata kasar, hingga larangan pembahasan konflik politik dan perang meskipun gambar atau video tidak ditunjukkan. Jika video memiliki unsur tersebut, maka video tersebut tidak akan bisa diiklankan. Jelas sekali YouTuber akan dirugikan, karena mereka tidak bisa mengeluarkan pendapat mereka akan suatu pembahasan politik dan juga kehilangan penghasilan mereka. Contoh yang paling jelas terjadi pada kasus ini terjadi pada salah satu YouTuber senior, Philip DeFranco dimana ia membahas beberapa berita terbaru dari dunia internet, teknologi, maupun sosial politik yang terjadi di Amerika dalam konten-konten videonya. Beberapa videonya tidak bisa diiklankan bahkan video lamanya dihilangkan penghasilan iklannya. Baginya ini adalah sebuah kekacauan, dia kemudian tidak merasa rugi karena dia bisa mendapatkan penghasilan lain dari merchandise yang ia jual serta beberapa endorsement. Akan tetapi, bagaimana dengan channel yang lebih kecil dengan pendapatan yang tidak sebesar Philip DeFranco?

Permasalahan konten pun menjadi salah satu yang diperhatikan dalam komunitas YouTube terutama para penonton. Dijelaskan sebelumnya, konten video di YouTube memiliki keberagaman dari sisi positif dan negatif. Klasifikasi konten ini didasarkan pada reaksi penonton, dapat berupa komentar ataupun berupa rasio like dan dislike. Video yang disajikan sisi negatif seringkali berupa social commentary dimana masyarakat sangat merasa dekat dengannya. TVFilthyFrank adalah salah satu contohnya, video-video dari channel ini biasanya berupa komentar seorang Filthy Frank mengenai hal-hal populer dan viral di internet. Seperti fenomena weeaboo yang terjadi di kalangan pecinta sub-kultur pop Jepang, hingga psychological disorder seperti depression serta penyakit seperti seizure dan lain sebagainya. Konten yang disajikan channel ini pastinya menimbulkan banyak komentar, dari yang menyetujui dan menyukainya, hingga yang membenci bahkan mengahrdik seorang Filthy Frank. Akan tetapi, semua yang ada di dalam channel TVFilthyFrank merupakan sebuah staged act belaka. Joji Miller (atau George Miller) adalah mastermind dari channel ini. Dalam deskripsi channel-nya ia menyampaikan bahwa Filthy Frank adalah tokoh dimana seseorang tidak seharusnya ada di dalam masyarakat, atau dengan kata lain Filthy Frank tidak mengindahkan apa yang disebut political correctness.

Hypereality, mungkin menjadi sebuah permasalahan yang bisa diangkat dalam permasalahan Filthy Frank. Garis batas antar realitas dan karakter menjadi jauh lebih tipis di dalam YouTube. Ketika kita menonton sebuah video dan kita menyaksikan seorang YouTuber berbicara dan menyampaikan sesuatu, kita selalu berpikir bahwa itulah yang dipikirkannya. Kita tidak melihat adanya kemungkinan bahwa apa yang kita lihat adalah sebuah rancangan. Kita tidak biasa melihat seseuatu yang “berkarakter” muncul di hadapan kita ketika melihat situs YouTube, dan dari sini kita seharusnya bisa menyadari hal tersebut. Dalam wawancaranya dalam TheNeedleDrop Podcast, George menyampaikan bahwa TVFilthyFrank merupakan sebuah komedi alternatif dan dihadirkan sebagai sebuah hiburan semata. Kemudian George juga menyayangkan bahwa penonton di YouTube tidak seperti di televisi, ketika orang melihat sesuatu yang hadir di TV mereka bisa memberikan batasan yang jelas. Mereka akan memaafkan Stephen Colbert ketika ia menjadi seorang konservatif ketika di TV, namun mengapa mereka tidak memaafkan seorang George Miller ketika menjadi Filthy Frank di YouTube?

Kita bisa mengatakan bahwa YouTube adalah sebuah alternatif hiburan. YouTube menyajikan konten yang dapat kita pilih sesuai preferensi kita. Ia bisa memberikan kita informasi yang bermanfaat hingga hiburan yang mungkin bagi beberapa orang tidak ada gunanya sama sekali. Namun, ketika ada ungkapan seperti “YouTube lebih dari TV,”? Saya cukup meragukan hal itu, karena YouTube dan TV adalah dua komponen media yang berbeda. Kita bisa berperan lebih di dalam YouTube, entah menjadi seorang content creator atau mungkin berbagi opini melalui comment section yang ada di setiap video. 

Selain sensorsip, dan hiperealitas, privasi juga menjadi soal yang cukup sentral. Permasalahan ini tidak hanya terjadi dalam dunia YouTube, namun dalam dunia virtual secara umum. Ketidakjernihan melihat hiperealitas menyuplai keingintahuan yang mendalam atas figur yang tampil di YouTube. Hilangnya privasi salah satunya terjadi karena basis hiperealitas disama dan sebangunkan dengan realitas. Beberapa kasus tercatat seperti PewDiepie, seorang YouTuber terkemukan tiba-tiba didatangi oleh penggemar, yang bahkan seharusnya dia dan kru yang mengetahui kamar hotel yang sedang dia inapi. Permasalahan ini mengundang pertanyaan mengenai basis privasi dalam arsitektural ruang digital. Kita bisa menghilangkan identitas pengunggah dari satu video dalam YouTube. Namun jejak material dalam kosmologi digital tidak akan hilang, mereka akan tetap bisa mengetahui IP pengunggah, bahkan dengan melompatkannya memakai proksi, akan selalu ada residu ketermungkinan untuk dicacah memakai kodifikasi tertentu.

Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan

Memuliakan Kebhinekaan Nusantara





(Kami dari tim Cangkir Putih FIB UI memohon maaf atas keterlambatan postingan ini)

Acara Hari Puisi Indonesia berlangsung 11-12 Oktober 2016, di pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM). Sebanyak 200 penampil bergantian naik panggung menghadirkan aneka rupa puisi. Ada dua acara spektakuler yang diusung dalam perhelatan akbar ini. Yang pertama adalah peluncuran buku puisi tertebal di Indonesia berjudul “Matahari Cinta Samudra Kata” dan kedua adalah pemberian 

Anugerah HPI 2016 kepada satu penyair pemilik buku kumpulan puisi terbaik dan lima buku puisi pilihan sebagai tanda puncak HPI 2016. Ragam bentuk puisi dalam Hari Puisi itu selaras dengan kebhinekaan penampil yang datang dari berbagai daerah di Indonesia.

Puncak Hari Puisi Indonesia 2016 ini diisi dengan panggung apresiasi puisi, diskusi, pidato kebudayaan, pembacaan puisi oleh para pejabat negara, duta besar, dan tokoh masyarakat. Bahkan, wakil presiden RI Jusuf Kalla turut hadir untuk membaca puisi.

Sumber:
jawapos.com
poetryprairie.com

Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan