(oleh Dr Hizkia Yosie Polimpung | Director Purusha Research Cooperative)
Sekitar abad ke-16, di Eropa merebak ketakutan akan hantu roh jahat (poltergeist). Hal ini membuat agama, berikut para agamawan saat itu menjadi “laris.” Satu hal yang tidak orang pada saat itu adalah bahwa sebenarnya roh jahat tersebut hanyalah efek visualisasi cermin yang spesial. Spesial, karena ia disebut ‘katoptrik’. Efek katoptrik ini sebenarnya adalah eksperimentasi ilmuwan geometri dan para filsuf skolastik dengan cermin dan perspektif. Melalui eksperimen ini mereka mencari justifikasi merefleksikan pemikiran-pemikirannya mengenai deformasi dunia, ke dunia itu sendiri. Singkatnya, dengan penataan tertentu, sebuah cermin tidak merefleksikan obyeknya, melainkan memantulkannya justru di udara. Bagi orang tidak memahami ini, ia tentu saja akan melihat “hantu.”
Tidak hanya di udara, imaji yang dipantulkan itu pun terdeformasi sehingga wujudnya menjadi terdistorsi. Sontak pemandangan ini merangsang perasaan ngeri dan horor di pihak subyek. Kita bisa melihat bagaimana dalam eksperimen katoptrik, suatu obyek “roh jahat” merupakan efek pantulan cermin yang adalah buah eksperimentasi saintifik dan filosofis. Singkat cerita, eksperimen ini lebih memiliki efek pseudo-saintifik-filosofis ketimbang sumbangsih intelektual yang diharapkan. Bahkan, pada perkembangannya, skolastisisme analitik dari mana ide eksperimen katoptrik ini dicetuskan malah menjadi preseden bagi munculnya cabang pseudo-ilmu Natural Magic.
Saya tidak akan membahas ini Natural Magic ini, melainkan suatu provokasi pemikiran naturalis untuk melangkah ke ranah yang bisa jadi adalah bagian dari yang disebut-sebut ‘magis’. Melalui eksperimen katoptrik di atas sebenarnya kita sudah melihat betapa apa yang dikira orang “roh jahat” hanyalah suatu fakta yang sengaja diciptakan melalui cara-cara yang notabene imiah dan bahkan filosofis. Pertanyaan untuk hari ini dengan demikian, saat melihat isu-isu yang jatuh pada domain ‘magis’, ‘supranatural’, ‘paranormal’, dst., apakah kita akan menjadi orang-orang abad 16 yang dibikin ketakutan terhadap roh jahat katoptrik, dan terbirit-birit melarikan diri di balik ketiak agama, tanpa mampu berpikir dan menginvestigasi roh tersebut? Apakah kita juga terhitung orang-orang yang lebih cepat memberikan diri untuk diselimuti ketakutan itu? Atau mereka yang menghambakan diri pada ketakjuban, dan kemudian menandatangani kontrak Faustian dengan “setan”—yi. bergabung ke dalam dunia katoptrik tersebut?
Hari-hari ini filsafat nampaknya bernasib seperti orang-orang yang ketakutan tersebut dan segera melarikan diri, entah ke altar religius, atau ke asketisisme filosofis. Soalnya, agaknya filsafat alergi untuk mengonfrontir hal-hal magis dan supranatural ini. Apa yang bisa dilakukan filsafat, semisal untuk menjelaskan fenomena santet? Atau misalnya telepati, extrasensory perception (ESP), dll. Bagi filsafat, ini bahkan bukan persoalan yang valid untuk difolosofisasi. Alhasil, mereka yang berjumpa langsung dengannya akan bernasib salah satu dari dua pilihan di atas—berdoa tekencing-kencing, atau menjadi budak ketakutannya.
Psikoanalisis, misalnya, tidak pernah benar-benar mengonfrontir fenomena trans (trance). Pasca Freud membuang metode hipnotisme, praktis tradisi psikoanalisis memusuhi “ilmu” ini. Sebagaimana diketahui, Freud menolak hipnotisme karena sang klien selalu lupa akan proses analisis-terapinya selama tidur hipnosis. Bagi Freud, apa artinya ini bagi pemulihan psikis subyek kalau toh ia lupa. Sebenarnya, di perkembangannya yang lebih modern, para hipnotis sudah bisa mengatur amnesia ini sehingga sang klien tidak harus lupa saat selesai sesi hipnoterapinya. Namun demikian, pintu gerbang diskusi sudah tertutup. Bahkan Jacques Lacan, saat tahu salah seorang di antara murid terbaiknya belajar hipnotisme, ia dengan segera mengeluarkannya dari asosiasi. 3 Hal ini saya kira tidak terjadi hanya di psikoanalisis, namun hampir seluruh cabang filsafat. Bahkan, mistisisme adalah label pengusir yang ampuh, selain teologi, untuk menunjukkan bahwa suatu filsafat terjebak ke dalam metafisika. Alhasil, filsafat menjauhkan dirinya dari persoalan-persoalan supernatural ini, tanpa pernah menyentuh dan memertanyakan efek-efek fisikal dari ini semua. Persis seperti psikoanalisis yang tidak memiliki sedikit pun penjelasan mengenai, misalnya, bagaimana mungkin seorang ibu berumur 67 tahun bisa mengangkat Inova,4 atau seseorang bisa nge-fly hanya dengan sugesti hipnotik bahwa rokok yang dihisapnya adalah ganja? Paling jauh penjelasan kita standar: "ah tipuan kamera" sebuah ungkapan ke pelarian altar rasio, yang sebenarnya juga tidak benar-benar dipahami.
Alhasil filsafat memertahankan, dan mengabaikan tegangan kedua ranah ini: rasional-saintifik dan irasional-supernatural. Dalam khazanah Holywood kontemporer, filsafat yang demikian ini menubuh dalam sosok Dr. Strange.
[SPOILER ALERT !] Dr. Stephen Strange, karena frustrasi dengan dunia medis modern, ia mencoba untuk menjajal keampuhan dunia mistik. Ia berjumpa dengan orang-orang dari Kamar-Taj yang mengatakan bahwa kunci kesuksesannya di sini adalah: "lupakan semua yang kamu ketahui sampai saat ini." Benar saja, saat Dr. Strange dipaparkan bahwa kuncinya adalah ‘percaya’, sontak rasionalitasnya berontak. Pengalaman akademis dan profesionalnya “tidak mengizinkan” Dr. Strange untuk memercayai seni-seni berbasiskan kepercayaan pada chakra, tenaga dalam, dan energi kosmik. Lihat saja betapa terperanjatnya Dr. Strange saat ia dicicipkan untuk sejenak keluar dari tubuhnya melalui proses proyeksi astral yang disengajakan (induced).
Disepanjang film, nampak jelas bagaimana Dr. Strange tetap tidak menerima ini, yaitu kenyataan bahwa ia adalah ahli ilmu mistik. Kita ingat momen-momen ini tentunya. Saat pertama kali ia ditunjukkan dunia cermin, Dr. Strange mengatakan, “this does not make any sense!” Dan kata si botak Ancient One, “not everything does. Not everything has to.” Dr. Strange harus mampu, dengan kata lain, untuk menjadi tidak make-sense, untuk menunda atau mengekang akalnya, untuk memberikan pengecualian (exception) bagi rasionalitas, untuk supaya keajaiban Kamar-Taj bisa terjadi padanya. Tidak hanya itu, Dr. Strange harus “studying and training” untuk bisa menguasai ini semua. Apa yang dipelajari dan dilatih? tidak lain adalah menjadi tidak masuk akal! Momen lainnya adalah saat Dr. Strange dianugerahi gelar “Master” oleh si Botak. Apa kata Dr. Strange?—“I am not a master. I am a doctor: Dr. Strange!” Jawaban serupa dilemparkannya saat perjumpaan pertamanya dengan Kaecilius. Dr. Strange, dengan kata lain, hidup di antara tegangan dua dunia: sains dan mistik. Saat masuk di dunia mistik, ia harus menutup mata rasionalnya; sementara di dunia sains, ia harus menutup kitab-kitab mistiknya. Mistisisme, bagi Dr. Strange ini, tepat seperti formulasi Lacanian tentang keganjilan (uncanny), "I am certain of it, yet I am not ready to believe it.”5 Tapi, bukankah ini juga posisi kita semua terhadap keganjilan dari dunia mistik dan supernatural?
Saya tidak ingin masuk ke argumen standar ala Marvel (dan saya rasa seluruh film sci-fi standar). Yaitu bahwa sains dan magic adalah berbatasan secara kabur. Bahwa magic adalah akan tetap menjadi magic sampai kita memahaminya, dan berubahlah ia menjadi sains. Seperti ucapan modusnya Thor, “your ancestor called it magic, and now you call it science. I come from the place where they are one and the same thing.” Suatu efek yang bisa jadi juga dirasakan.
Tapi apabila kita sepakat dengan ini, maka sebenarnya kita hanya akan membungkam magic atas nama kedaulatan rasio. Kita akan melucuti aura magisnya dan menggantikannya dengan selimut formulasi saintifik, tanpa pernah memertanyakan efek auratis dan magisnya tersebut. Rasio tidak benar-benar berani menerima suatu kenyataan bahwa sebenarnya ada yang lain selain dirinya (wholly other). Biasanya, ini segera diikuti
Ungkapan-ungkapan yang menderita metafisika Prinsip Alasan Berkecukupan, “pasti ada alasannya! Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa alasan!” Ketimbang suatu statemen filosofis yang berani, ungkapan tadi sayangnya tidak lebih dari sekedar anestesia untuk menenangkan diri saja. Singkatnya, jalur ini bermasalah.
Sebenarnya, posisi Dr. Strange dan Kamar-Taj-ian lainnya juga adalah yang kita pegang saat berjumpa dengan hal-hal yang tidak mampu kita pahami. Saat melihat fenomena-fenomena yang tak terpahami ini terjadi, sama seperti Dr. Strange, kita menutup mata rasio kita tanpa berusaha menggenjotnya lebih jauh lagi, tanpa berusah memeriksa bahwa jangan-jangan cara berasio saya yang kurang tepat sehingga peristiwa ini tidak terpahami. Boro-boro demikian, dengan rasio kita langsung mengetokkan palu judgement rasional terhadap fenomena tersebut. Bisa kita daftar fenomena-fenomena yang tak terpahami yang dengan cepat kita beri judgement: ekstrimisme religius, irasionalitas kekuasaan, kedunguan penguasa yang sialnya berkuasa, ketak-terperian ketimpangan, dan hal-hal lain yang membuat Inul bernyanyi “saiki zamane zaman edan.” Padahal, tanpa mengonfrontir hal-hal supra-natural ini, kita justru berpotensi membiarkannya terus ada, tak terpahami. Kalau ini adalah seputar fenomena astral, misalnya, saya sih akan suka-suka saja. Namun lain soal kalau ini adalah segerombolan ekstrimis yang terus menebar ketakutan yang sialnya mereka dipelihara oleh penguasa yang juga ingin membuat kita semua ketakutan karena dengan demikian mereka punya alasan untuk berkuasa. Seperti kata Athena:
"never banish terror from the gate; that’s how your people may fear you.”
Tapi, persoalannya, bisakah rasio masuk ke dunia nir-rasio dan berusaha memahaminya? Problem ini, yang saya sebut ‘problem astralitas’, adalah sesuatu yang harus dijawab oleh filsafat dan bukan dihindari.
Sumber Gambar: Deadpool UI
Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar