Kamis, 19 Januari 2017

Arrival (2016): Bahasa, Kemanusiaan, dan Takdir



oleh Dini Adanurani | Vice-Director of Creative Board Deadpoøl Universitas Indonesia, Mahasiswa Filsafat UI

Ketika 12 UFO mendatangi titik-titik acak di muka bumi, ahli linguistik Louise Banks (Amy Adams) yang sedang bergumul dengan masa lalunya, direkrut militer yang diwakili Colonel Weber (Forest Whitaker) untuk mencari tahu tujuan mereka datang ke Bumi. Bekerja dengan ilmuwan Ian Donnelly (Jeremy Renner), Louise berusaha mendekati mereka, “menyamakan frekuensi” demi kelancaran komunikasi. Karena komunikasi ‘adala koentji’. 

Arrival diangkat dari sebuah cerita pendek, The Story of Your Life oleh Ted Chiang. Setelah menonton filmnya yang megah, sudut pandang penikmat saat membaca cerita sedikit dipersempit, sebab cerita pendek ini kurang memberi perhatian kepada latar suasana kekacauan global dan militer yang sedang terjadi. Tapi bagi yang ingin mengulik lebih dalam hubungan pribadi Louise dan penjelasan dari teori-teori linguistik dan fisika dari Arrival, cerita ini sangat direkomendasikan. 


BAHASA DAN KEMANUSIAAN
 
Faktor utama yang membuat Arrival menjadi kesegaran baru di ranah fiksi ilmiah adalah fokusnya terhadap linguistik. Seluruh konsep film ini bergantung kepada subjek humaniora yang “melekatkan manusia dan peradaban, namun menjadi senjata pertama yang dikeluarkan dalam kondisi konflik”—kalimat yang dikutip Ian Donnelly dari pengantar buku Louise Banks. 

Donnelly juga berkomentar kepada Banks dalam film, bahwa ia “meneliti bahasa seperti ahli matematika”. Menarik untuk melihat bahasa yang sehari-hari saya dan anda perlakukan sebagai alat untuk memenuhi keinginan pribadi, dalam film ini diperlakukan sebagai objek penelitian—tak ubahnya katak yang dibedah dalam eksperimen biologi. Ketika tim bahasa harus menyampaikan pertanyaan tujuan para alien datang ke bumi, pertanyaan itu dikupas habis menjadi inti-inti yang harus dipahami pihak alien tersebut agar bisa memahami pertanyaan itu secara keseluruhan: misalnya, alien harus terlebih dulu memahami kata tanya, dan mengetahui perbedaan maka ‘you’ secara singular dan jamak. Bahasa sebagai konsep sejatinya sangat rumit—manusia bisa memahami begitu banyak hal sampai bisa berkonversasi verbal dan non-verbal seperti sekarang. Situasi menjadi filosofis ketika kita harus menggali, apa yang membuat manusia bisa memahami sesuatu, dan bagaimana cara mentransfer pemahaman itu ke orang lain. 

Dalam film-film sci-fi, teknologi umumnya digunakan dengan tujuan eksploitasi. Manusia sudah mengacaukan planet bumi, jadi, saatnya kita mencari planet baru untuk dikacaukan! Oh, kita belum pernah melihat makhluk ini sebelumnya, ayo kita tangkap dalam tabung kaca lalu kita teliti. Kalau tidak, digambarkan sebaliknya—manusia-lah yang dikejar-kejar alien jahat. Di sisi lain, bahasa dikenal sebagai cara berdiplomasi yang paling damai, di mana kedua pihak menyatakan apa yang mereka inginkan, dan mencari cara untuk berkompromi. Di tengah kekalutan militer berskala global, para tokoh utama kita hanya berusaha mencoba mengetahui maksud pihak alien. Dalam situasi ini manusia dan alien setara, keduanya sama-sama pihak luar yang berusaha mencari landasan yang sama, sekalipun pengetahuan dan cara berbahasa pihak alien lebih kompleks daripada manusia. 

Para ilmuwan dalam Arrival berusaha saling memahami dengan cara bertukar konsep dengan para alien, baik dalam bahasa (memperkenalkan konsep seperti nama spesies, nama pribadi, kata kerja, kata ganti, dll) dan dalam matematika dan fisika (mendemonstrasikan konsep-konsep seperti geometri, aljabar, dan kalkulus). Kembali lagi kepada hakikat bahasa, sebagai alat yang digunakan untuk membangun konsep. Kedua pihak boleh jadi melihat realita dengan cara yang berbeda, namun ketika kedua pihak menggunakan bahasa untuk menuangkan realita versi masing-masing ke dalam bentuk konsep yang dapat dimengerti keduanya, terjalinlah pengertian dan interaksi lebih lanjut. 


HIPOTESIS SAPIR-WHORF
 
Arrival didasarkan pada hipotesis Sapir-Whorf, prinsip linguistik yang berpandangan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara pandang penggunanya. Ada dua versi hipotesis ini, versi pertama adalah relativisme linguistik, bahwa bahasa mempengaruhi pikiran dan perilaku seseorang. Namun versi ekstremnya, determinisme linguistik, meyakini bahwa bahasa mempengaruhi kognisi seseorang dan menentukan realita seperti apa yang mereka persepsikan. Dalam artikel Marissa Martinelli untuk Browbeat, ia mewawancarai seorang ahli linguistik dan kognitif Universitas Illinois, Betty Birner, tentang pengalaman menonton Arrival sebagai seorang ahli linguistik, dan seberapa akuratnya film itu terhadap teori yang ada. Menurutnya, meskipun determinisme linguistik yang dicomot untuk menjadi fondasi film ini teori yang kurang populer di antara para ahli, teori tersebut sudah diadopsi dengan tepat. 

Teori ini dikembangkan dalam film berdasarkan sebuah pengandaian: jika manusia berhasil mempelajari bahasa alien dari dimensi lain yang mampu mempersepsi waktu secara nonlinear, akankah manusia dapat mempersepsi waktu dengan cara yang sama?

Heptapod memahami waktu sebagai sesuatu yang nonlinear; serangkaian kejadian yang eksis dalam saat yang bersamaan, sementara batas-batas waktu melebur. Ini yang dijelaskan sebagai moda kesadaran serentak (simultaneous consciousness) dalam The Story of Your Life, berbeda dengan kesadaran sekuensial (sequential consciousness) yang dimiliki manusia. Dalam kesadaran serentak, masa kini dapat dianalogikan sebagai satu titik yang ada dalam peta besar yang bisa mereka lihat secara utuh. Otomatis mereka tahu apa yang akan terjadi di masa depan, meskipun mereka tidak memahaminya sebagai “masa depan”.

Namun berdasarkan akal sehat, apakah hal ini bisa benar-benar terjadi di dunia nyata? Katakanlah, manusia berhasil mempelajari bahasa tersebut. Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf, bahasa ini akan mempengaruhi cara pikir manusia—dalam hal pemecahan masalah misalnya, manusia akan mampu berpikir dengan pola out-of-the-box dan mengajukan solusi yang tidak biasa, karena terbebas dari kekangan sudut pandang manusia yang linear. Tapi manusia takkan bisa melihat realita dalam level kesadaran yang sama dengan  para alien tersebut. Manusia hanya mampu melihat representasi waktu sebagai hubungan sebab-akibat; tidak sebagai waktu itu sendiri, karena waktu berada di luar kesadaran sekuensial yang mampu dicapai manusia. 



REALITA HEPTAPOD DAN DETERMINISME
 
Dalam film, diperlihatkan kilasan-kilasan peristiwa yang akan datang dalam kehidupan Louise Banks, dan bagaimana ia memutuskan untuk mengikuti alur itu sebagaimana mestinya. Masa depan memang memberikannya “resep untuk menyelamatkan dunia”, namun juga menunjukkan bahwa hubungan yang akan dibinanya dengan Ian Donnelly gagal dan anak mereka meninggal karena sebuah penyakit kronis. 

Secara moral, resolusi film ini memberikan berbagai pesan: untuk “merangkul” takdir, pentingnya mengalami sesuatu secara langsung, dan bahwa kebahagiaan dalam hidup adalah hal yang layak dialami sekalipun bersifat sementara. Namun, dari sudut pandang filosofis hal ini menimbulkan pertanyaan baru: apakah manusia benar-benar punya kehendak bebas? 

“Jika kau bisa mengetahui alur hidupmu dari awal sampai akhir, akankah kamu mengubahnya?”
Kalimat yang diucapkan Louise Banks di akhir film mengindikasikan adanya kemungkinan manusia bisa mengubah alur hidup yang telah ditentukan sebelumnya. Namun ia memutuskan untuk menerima takdir dan menjaga rangkaian peristiwa tersebut. 

Keberadaan free will ini telah menjadi perdebatan filosofis sejak lama, dan nampaknya takkan berakhir. Solusi masalah ini dijabarkan lebih jelas dalam versi cerita pendek dibandingkan versi film: bahwa kehendak bebas itu nyata dalam konteks kesadaran sekuensial. Namun dalam moda kesadaran serentak, batas-batas antara kebebasan dan keterpaksaan mengabur. Keduanya sahih dalam konteks yang berbeda. Kerangka berpikir dan berperilaku heptapod dijabarkan lebih jelas di cerita pendek The Story of Your Life: tujuan-tujuan kolektif mereka selaras dengan kronologi sejarah yang sudah ada. Mereka hidup hanya untuk menjadi lakon dalam guratan naskah sejarah yang dapat mereka baca.

Film mencapai titik lempar terjauhnya pada pengungkapan bahwa heptapod datang ke Bumi untuk menghadiahkan bahasa mereka kepada manusia, dan sebuah rumus kompleks yang tidak dijelaskan fungsinya dalam film. Dibekali kunci untuk masa depan, para manusia diharapkan untuk membantu para heptapod tiga ribu tahun kemudian. 

PENUTUP
 
Dalam kilasan-kilasan masa depannya, ditampilkan bahwa Louise Banks akan menerbitkan buku mengenai bahasa heptapod, dan mengajarkannya kepada masyarakat. Banyak konsekuensi akan peristiwa ini yang tidak diceritakan dalam film, yang dapat dimaklumi, mengingat tujuan film ini hanyalah untuk menceritakan perjalanan Louise sendiri. Namun, apa yang akan terjadi jika sebagian besar populasi manusia menguasai bahasa heptapod dan mampu melihat masa depan? Apakah keadaan akan damai sejahtera karena mereka memegang “resep menyelamatkan dunia”, atau justru manusia masih akan memulai peperangan dan bencana kemanusiaan hanya demi melakonkan realita yang tertera? Bagaimana dengan orang-orang yang akan melakukan banyak hal yang mereka tidak pahami hanya karena mereka melihat diri mereka melakukan hal tersebut di masa depan? Apakah otak manusia bisa berevolusi menjadi serupa dengan heptapod, atau mereka hanya akan mengadaptasi cara berpikir ini sampai batas tertentu? 

Secara garis besar, Arrival dieksekusi dengan apik sehingga pesan di balik film tersampaikan, namun masih meninggalkan ruang spekulasi yang menyenangkan. 

Sumber: Deadpool UI



Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan

Subjektivitas dalam Ajaran Jedi dan Pengekangan Subjek oleh Sith



oleh Nauval Zharkhov El-Hessan | Mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia, Fanboy 

Saya baru menemukan sebuah tulisan menarik seputar Star Wars. Ditulis oleh Fajar Aji, mahasiswa program studi ilmu filsafat, Universitas Indonesia, dan dimuat di official account Deadpoøl Universitas Indonesia. Secara ringkas, tulisan yang berjudul “Star Wars dan Penindasan Subyektifitas Individu” mencoba membandingkan antara ajaran Sith dan Jedi. Penulis menyatakan bahwa ajaran Jedi pada hakikatnya adalah harmoni, sesuai dengan kode yang mereka yakini yang selalu diawali dengan kata “Tidak ada” (There is no…). Lebih lengkapnya, penulis menyatakan, “… Jedi adalah kumpulan pengguna Force yang berusaha untuk menjaga hidupnya agar tetap stabil sehingga menciptakan harmoni antar tiap makhluk hidup yang memang terhubung juga dalam satu medan energi  Force.”. Setelah mengungkapkan itu, kemudian penulis menyatakan bahwa konsekuensi ajaran Jedi adalah mengekang individu hanya demi mencapai harmoni yang ingin mereka capai.

Berbeda dengan Sith. Bagi penulis, Sith sangat mendukung cara kerja alamiah pemikiran manusia. Sith, dengan segala kodenya yang berakhir dengan “The Force shall set me free” memiliki konsekuensi logis yaitu membuat individu berhak melakukan apa yang dia inginkan, “Akan, tetapi kita akan bisa melihat bagaimana para kesatria Sith berusaha selalu menjadi lebih kuat dan meraih kemenangan, paling tidak atas dirinya sendiri, kemudian pada akhirnya membebaskan diri mereka dari rantai yang membelenggu mereka.”. Akan tetapi, apakah benar Jedi mengekang individu dan membenarkan harmoni? Apakah memang Sith membebaskan hak individu terutama setiap disciple-nya?

Subjek dalam Ajaran Sith dan Jedi

Ajaran Jedi sebenarnya simpel. Mereka mengedepankan harmoni di atas kekacauan. Mengedepankan perdamaian di atas peperangan. Oleh karena itu, setiap tugas yang diberikan kepada anggota baru Jedi selalu berkaitan dengan diplomasi dan negosiasi. Konflik adalah jalan terakhir. Idealis dalam artian mereka tidak ingin terlibat dalam konflik secara langsung.

Sementara ajaran Sith berkebalikan dengan ajaran Jedi. Mereka menggunakan The Force untuk menambah kekuatan mereka sendiri dan menundukkan orang lain yang dianggap lemah. Tidak ada pengetahuan terlarang dalam Sith. Sementara pada Jedi masih ada pembatasan pengetahuan. Oleh karena itu, banyak sekali Sith yang kuat bahkan lebih kuat dari Jedi secara kekuatan fisik. Paling terkenal adalah Lord Vitiate atau Valkorion yang hadir pada trailer berjudul Sacrifice untuk expansion pack pada permainan Star Wars: The Old Republic (2011). Dia menciptakan kekacauan skala galaksi hanya untuk menjadikan dirinya kekal. Dia juga bisa menundukkan para Sith Lord di usianya yang masih muda. Dia pun terkenal dengan Eternal Empire-nya yang bertahan hingga seribu tahun lamanya bahkan dikenal sebagai Sith Emperor yang berkuasa paling lama di galaksi.

Secara sekilas, Jedi terlihat mengekang individu atau subjek sementara Sith tidak. Hal ini bisa dilihat dari peraturan Sith yang dibuat oleh Darth Bane, yaitu rule of two. Penyebutan rule of two ada pada serial televisi Star Wars The Clone Wars (2008-2014) Season 6 Episode 13. Dalam peraturan tersebut, hanya boleh ada dua Sith dalam satu waktu, master dan padawan. Akan tetapi, padawan diperbolehkan membunuh master-nya bila memang sudah mampu untuk melakukannya atau bila padawan menganggap sang master tidak mampu dalam mengemban ajaran Sith.

Bila dilihat lebih dalam lagi, sebenarnya Jedi justru mengedepankan pendapat individu atau subjek. Ini dibuktikan sendiri oleh banyaknya anggota Jedi yang keluar dari Ordo Jedi dan mereka tidak diburu selama mereka tidak menganggu harmoni. Misalkan saja Ahsoka Tano, padawan Anakin Skywalker pada serial Star Wars The Clone Wars Season 5 Episode 17 sampai 20. Dia keluar dari Ordo Jedi karena dituduh telah membunuh seorang tawanan dan Jedi tidak melakukan pembelaan apa-apa melainkan justru mendukung tuduhan itu. Akan tetapi Tano tidak diburu. Bahkan dia mendukung Pemberontakan di serial Star Wars Rebels (2014-sekarang) Season 1 dan 2. Hal serupa juga terjadi pada permainan Star Wars Knights of the Old Republic II: The Sith Lords (2004). Ada seorang ex-Jedi bernama Kreia. Dia kecewa dengan ajaran Jedi dan memutuskan untuk mendirikan sebuah Sith Academy bernama Sith Triumvirate di puing-puing Malachor V. Tidak ada satu Jedi pun yang tertarik untuk menghancurkan Kreia - yang kemudian dikenal sebagai Darth Traya - karena dia tidak berambisi dalam mengacaukan keseimbangan galaksi atau the Force. Seorang Jedi bernama Meetra Surik ingin menghancurkan ajaran Sith yang dibuat oleh Kreia setelah mengetahui bahwa dua padawan Kreia, Darth Nihilus dan Darth Sion terbukti memiliki ambisi dalam menghancurkan Republic dan Jedi.

Berbeda dengan Sith. Mereka sangat membatasi gerak individu. Dengan ambisinya, mereka tidak ingin ada yang menyaingi mereka. Walaupun berdiri sebuah kekaisaran dan sebuah council, tapi hal itu tidak menafikan bahwa Sith terkuat begitu mengopresi Sith yang lemah. Lihat kembali rule of two. Tidak boleh ada lebih dari dua Sith dalam satu waktu. Bila ada, maka salah satu harus dibunuh. Contohnya adalah kejadian pada permainan Star Wars: The Force Unleashed (2008). Darth Vader mengangkat seorang anak Jedi bernama Galen Marek (dikenal juga sebagai Starkiller) menjadi padawan-nya. Akan tetapi, kemudian Darth Sidious mengetahuinya dan menyuruh Vader membunuh Marek atau Sidious sendiri yang akan membunuh Marek atau Vader. Jedi tidak demikian. Lihat Episode I ketika Qui-Gon Jinn dan Obi-Wan Kenobi meminta Anakin untuk menjadi padawan baru. Awalnya ditolak oleh Jedi Council dengan alasan “terlalu tua”, namun di akhir Episode I, Yoda menyetujui permintaan Obi-Wan.

Penutup

Ajaran Jedi dan Sith tidak seperti yang diasumsikan oleh Fajar Aji, yaitu Jedi mengekang individu dan Sith membebaskan individu atau subjek. Justru sebaliknya, Jedi sangat mengangkat sisi subjektivitas anggotanya. Setiap pendapat anggota pasti didengarkan. Jedi bukan mengekang subjek, melainkan mengajak subjek untuk mengikuti proses pembelajaran demi mencapai kesempurnaan pengetahuan akan The Force.

Sith pun memiliki proses pembelajaran tersebut. Bahkan, beberapa Sith Lord tidak mau membagi pengetahuannya. Mereka mengopresi siapa pun yang berani bertanya akan pengetahuan yang dimiliki. Bagi Jedi, pertanyaan itu wajar. Hanya saja pertanyaan harus dibatasi sesuai dengan tahapan yang sudah dicapai oleh seorang Jedi. Bahkan Jedi seperti Yoda pun pada akhirnya memperbolehkan sebagian sisi gelap diterapkan oleh Jedi karena bagian dari pengetahuan the Force itu sendiri. Sementara Sith, sampai kapan pun tidak pernah memperbolehkan padawan-nya memakai cara sisi terang seperti belas kasihan kepada musuh dan cinta. Dalam ajaran Jedi, bukan cinta yang dilarang, melainkan keterikatan terhadap yang dicintai.

Sumber: Deadpool UI


Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan

STAR WARS DAN PENINDASAN SUBYEKTIFITAS INDIVIDU



oleh Fajar Bayu Aji | Director of Human Resource Deadpoøl Universitas Indonesia, Mahasiswa Filsafat UI

Star Wars, yang merupakan sebuah mahakarya industri perfilman Hollywood, merupakan sebuah tonggak awal berkembangnya genre fiksi ilmiah dalam sejarah perfilman dunia. Menceritakan tentang pertarungan abadi antara dua golongan pengguna The Force, yang merupakan medan energi yang menghubungkan semua makhuk hidup satu dengan lainnya, dengan falsafahnya masing-masing. Di dalam jalan cerita, dikisahkan Jedi, golongan pengguna Force yang lebih mementingkan harmoni dibandingkan kekuasaan, berusaha menghentikan dominasi Sith, golongan pengguna Force dengan kekuasaan sebagai prioritas utama, yang sudah mengusai seluruh jagat raya.  

Dalam dunia yang dikisahkan Star Wars, masing-masing dari golongan tersebut memiliki “aturan dasar” yang menjadi pegangan atau falsafah yang dijalankannya. Meskipun Jedi digambarkan sebagai protagonis yang mengingan kedamaian diatas dominasi Sith, namun aturan dasar yang dianut Jedi mengandung kode moral yang bisa jadi menindas subyektifitas para pengikut, anggota atau kesatria Jedi itu sendiri. Dugaan yang muncul ini pun juga didukung oleh penghianatan Anakin Skywalker, seorang padawanJedi (Jedi yang masih dalam masa pelatihan), terhadap golongannya. Karena merasa dirinya patut memperjuangkan keinginannya untuk melindungi keluarga dan orang-orang yang dicintainya, yang kemudian merubahnya menjadi Darth Vader, seorang Sith terkuat dan menjadi musuh terbesar golongan Jedi, juga menjadi tokoh utama terbentuknya Galactic Empire kerajaan yang dibentuk golongan Sith untuk menguasai jagat raya.  

Sebagai sebuah golongan yang besar dan memiliki ajarannya sendiri, Jedi memiliki sebuah pandangan dasar atau falsafah yang dijadikan dasar para kesatrianya dalam berperilaku dan mengambil keputusan. Pada dasarnya, ajaran dari falsafah ini mengharuskan bagi para kesatria Jedi untuk tidak menyerahkan dirinya kepada rasa amarah terhadap makhluk hidup lainnya – dikisahkan dalam seri film ini bahwa manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang berkesadaran – yang dapat menjaga mereka dari rasa takut dan “terjerumus” kedalam sisi gelap dari Force. Dengan kata lain, menjadi anggota atau kesatria Sith. 

“Tidak ada emosi, hanya ada kedamaian 
Tidak ada kebodohan, hanya ada pengetahuan 
Tidak ada gairah, hanya ada ketenangan 
Tidak ada kekacauan, hanya ada harmoni 
Tidak ada kematian, hanya ada The Force” 
-The Jedi Code (Star Wars: Dark Disciple)  

Jika kita melihat isi dari code tersebut, Jedi adalah kumpulan pengguna Force yang berusaha untuk menjaga hidupnya agar tetap stabil sehingga menciptakan harmoni antar tiap makhluk hidup yang memang terhubung juga dalam satu medan energi Force. Akan tetapi, dalam menjalankan ini para Jedi mengharuskan menutup diri mereka dari segala sifat-sifat kealamian manusia yang memang memiliki keenam hal yang dikatakan “tidak ada” dalam code tersebut. Dalam sejarah pemikiran yang berlangsung selama berabad-abad, banyak pemikiran yang mengatakan bahwa hal-hal yang disampaikan di atas merupakan hal yang dibutuhkan manusia agar terbebas dari segala penindasan-penindasan. Kita juga mungkin melihat bahwa tidak ada kecacatan dalam code ini untuk mewujudkan jagat raya yang damai, akan tetapi apa yang terjadi kepada Anakin Skywalker dalam kisah Star Wars ini menjadi contoh betapa ia ingin terbebas dari penindasan. Skywalker, yang merupakan seorang Padawan Jedi, merasa tertindas dengan ajaran Jedi dimana ia harus berusaha menahan emosi atau rasa cintanya terhadap Padme Amidala, yang kemudian menjadi istrinya. Berulang kali ia berusaha melindungi orang terkasihnya tersebut hingga dia menjadi Sith.  

“Kedamaian adalah sebuah kebohongan, hanya ada gairah
Dengan gairah, aku meraih kekuatan 
Dengan kekuatan, aku meraih kekuasaan 
Dengan kekuasaan, aku meraih kemenangan 
Dengan kemenangan, rantaiku (yang membelenggu) terlepas The Force akan membebaskanku” 
-Jalan Sith (Book of Sith: Secrets from The Dark Side)  

Di sisi lain, Sith memiliki falsafah yang mengajarkan bahwa Force seharusnya membuat manusa menjadi pribadi yang berkuasa atas dirinya sendiri dan menjadi bebas. Falsafah dari Sith mungkin akan terkesan arogan. Akan, tetapi kita akan bisa melihat bagaimana para kesatria Sith berusaha selalu menjadi lebih kuat dan meraih kemenangan, paling tidak atas dirinya sendiri, kemudian pada akhirnya membebaskan diri mereka dari rantai yang membelenggu mereka.  Star Wars memanglah memiliki kesan bagi seluruh penggemar dan jutaan pasang mata yang menyaksikannya. Seri film ini juga menjadi budaya populer yang mendunia dan menginspirasi banyak sineas perfilman di seluruh dunia untuk terus mengembangkan karyanya di genre fiksi ilmiah. Dipenuhi dengan drama dan aksi yang menakjubkan. Jika dilihat dari penjelasan yang sudah disampaikan, perjuangan yang dilakukan oleh Jedi dan Sith bukanlah perjuangan “benar” dan “salah”, melaikan perjuangan untuk dapatkan harmoni atau mendapatkan kebebasan subyektifitas.  

Kemudian, menjadi menarik bagaimana seri film ini memberikan nilai pembelajaran kepada penontonnya dengan tidak memberitahukan secara jelas manakah pihak yang benar dan mana yang salah. Perspektif yang digambarkan dalam film ini hanyalah golongan Jedi sebagai protagonis dan Sith sebagai antagonis, dimana istilah protagonis dan antagonis bukanlah istilah yang juga menjelaskan baik dan buruk. Namun, jika kita berkaca dengan apa yang disampaikan pemikiran-pemikiran yang berusaha untuk membebaskan subyektifitas dari segala belenggu penindasan adalah refleksi dari Sith yang memang memanfaatkan Force sebagai medan energi yang membebaskan mereka.

Sumber: Deadpool UI


Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan

Sabtu, 31 Desember 2016

SELAMAT TAHUN BARU



Tak terasa sebentar lagi bergantinya tahun. Sudah berapa kisah yang sudah dilewati. Ilmu, pikiran serta hati yang tulus menyertai kita semua dalam menutup tahun ini. Segenap rekan Cangkir Putih FIB UI 2016 mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh elemen, baik itu mahasiswa maupun khalayak umum yang telah mendukung acara Cangkir Putih FIB UI di tahun ini.

Tetap jaga hangatnya kebersamaan diantara kita.

Terima kasih

Sampai jumpa di tahun 2017


Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan

Dr. Strange, Tubuh Astral dan Filsafat



(oleh Dr Hizkia Yosie Polimpung | Director Purusha Research Cooperative)


Sekitar abad ke-16, di Eropa merebak ketakutan akan hantu roh jahat (poltergeist). Hal ini membuat agama, berikut para agamawan saat itu menjadi “laris.” Satu hal yang tidak orang pada saat itu adalah bahwa sebenarnya roh jahat tersebut hanyalah efek visualisasi cermin yang spesial. Spesial, karena ia disebut ‘katoptrik’. Efek katoptrik ini sebenarnya adalah eksperimentasi ilmuwan geometri dan para filsuf skolastik dengan cermin dan perspektif. Melalui eksperimen ini mereka mencari justifikasi merefleksikan pemikiran-pemikirannya mengenai deformasi dunia, ke dunia itu sendiri. Singkatnya, dengan penataan tertentu, sebuah cermin tidak merefleksikan obyeknya, melainkan memantulkannya justru di udara. Bagi orang tidak memahami ini, ia tentu saja akan melihat “hantu.”

Tidak hanya di udara, imaji yang dipantulkan itu pun terdeformasi sehingga wujudnya menjadi terdistorsi. Sontak pemandangan ini merangsang perasaan ngeri dan horor di pihak subyek. Kita bisa melihat bagaimana dalam eksperimen katoptrik, suatu obyek “roh jahat” merupakan efek pantulan cermin yang adalah buah eksperimentasi saintifik dan filosofis. Singkat cerita, eksperimen ini lebih memiliki efek pseudo-saintifik-filosofis ketimbang sumbangsih intelektual yang diharapkan. Bahkan, pada perkembangannya, skolastisisme analitik dari mana ide eksperimen katoptrik ini dicetuskan malah menjadi preseden bagi munculnya cabang pseudo-ilmu Natural Magic.

Saya tidak akan membahas ini Natural Magic ini, melainkan suatu provokasi pemikiran naturalis untuk melangkah ke ranah yang bisa jadi adalah bagian dari yang disebut-sebut ‘magis’. Melalui eksperimen katoptrik di atas sebenarnya kita sudah melihat betapa apa yang dikira orang “roh jahat” hanyalah suatu fakta yang sengaja diciptakan melalui cara-cara yang notabene imiah dan bahkan filosofis. Pertanyaan untuk hari ini dengan demikian, saat melihat isu-isu yang jatuh pada domain ‘magis’, ‘supranatural’, ‘paranormal’, dst., apakah kita akan menjadi orang-orang abad 16 yang dibikin ketakutan terhadap roh jahat katoptrik, dan terbirit-birit melarikan diri di balik ketiak agama, tanpa mampu berpikir dan menginvestigasi roh tersebut? Apakah kita juga terhitung orang-orang yang lebih cepat memberikan diri untuk diselimuti ketakutan itu? Atau mereka yang menghambakan diri pada ketakjuban, dan kemudian menandatangani kontrak Faustian dengan “setan”—yi. bergabung ke dalam dunia katoptrik tersebut?

Hari-hari ini filsafat nampaknya bernasib seperti orang-orang yang ketakutan tersebut dan segera melarikan diri, entah ke altar religius, atau ke asketisisme filosofis. Soalnya, agaknya filsafat alergi untuk mengonfrontir hal-hal magis dan supranatural ini. Apa yang bisa dilakukan filsafat, semisal untuk menjelaskan fenomena santet? Atau misalnya telepati, extrasensory perception (ESP), dll. Bagi filsafat, ini bahkan bukan persoalan yang valid untuk difolosofisasi. Alhasil, mereka yang berjumpa langsung dengannya akan bernasib salah satu dari dua pilihan di atas—berdoa tekencing-kencing, atau menjadi budak ketakutannya.

Psikoanalisis, misalnya, tidak pernah benar-benar mengonfrontir fenomena trans (trance). Pasca Freud membuang metode hipnotisme, praktis tradisi psikoanalisis memusuhi “ilmu” ini. Sebagaimana diketahui, Freud menolak hipnotisme karena sang klien selalu lupa akan proses analisis-terapinya selama tidur hipnosis. Bagi Freud, apa artinya ini bagi pemulihan psikis subyek kalau toh ia lupa. Sebenarnya, di perkembangannya yang lebih modern, para hipnotis sudah bisa mengatur amnesia ini sehingga sang klien tidak harus lupa saat selesai sesi hipnoterapinya. Namun demikian, pintu gerbang diskusi sudah tertutup. Bahkan Jacques Lacan, saat tahu salah seorang di antara murid terbaiknya belajar hipnotisme, ia dengan segera mengeluarkannya dari asosiasi. 3 Hal ini saya kira tidak terjadi hanya di psikoanalisis, namun hampir seluruh cabang filsafat. Bahkan, mistisisme adalah label pengusir yang ampuh, selain teologi, untuk menunjukkan bahwa suatu filsafat terjebak ke dalam metafisika. Alhasil, filsafat menjauhkan dirinya dari persoalan-persoalan supernatural ini, tanpa pernah menyentuh dan memertanyakan efek-efek fisikal dari ini semua. Persis seperti psikoanalisis yang tidak memiliki sedikit pun penjelasan mengenai, misalnya, bagaimana mungkin seorang ibu berumur 67 tahun bisa mengangkat Inova,4 atau seseorang bisa nge-fly hanya dengan sugesti hipnotik bahwa rokok yang dihisapnya adalah ganja? Paling jauh penjelasan kita standar: "ah tipuan kamera" sebuah ungkapan ke pelarian altar rasio, yang sebenarnya juga tidak benar-benar dipahami.

Alhasil filsafat memertahankan, dan mengabaikan tegangan kedua ranah ini: rasional-saintifik dan irasional-supernatural. Dalam khazanah Holywood kontemporer, filsafat yang demikian ini menubuh dalam sosok Dr. Strange.

[SPOILER ALERT !] Dr. Stephen Strange, karena frustrasi dengan dunia medis modern, ia mencoba untuk menjajal keampuhan dunia mistik. Ia berjumpa dengan orang-orang dari Kamar-Taj yang mengatakan bahwa kunci kesuksesannya di sini adalah: "lupakan semua yang kamu ketahui sampai saat ini." Benar saja, saat Dr. Strange dipaparkan bahwa kuncinya adalah ‘percaya’, sontak rasionalitasnya berontak. Pengalaman akademis dan profesionalnya “tidak mengizinkan” Dr. Strange untuk memercayai seni-seni berbasiskan kepercayaan pada chakra, tenaga dalam, dan energi kosmik. Lihat saja betapa terperanjatnya Dr. Strange saat ia dicicipkan untuk sejenak keluar dari tubuhnya melalui proses proyeksi astral yang disengajakan (induced).

Disepanjang film, nampak jelas bagaimana Dr. Strange tetap tidak menerima ini, yaitu kenyataan bahwa ia adalah ahli ilmu mistik. Kita ingat momen-momen ini tentunya. Saat pertama kali ia ditunjukkan dunia cermin, Dr. Strange mengatakan, “this does not make any sense!” Dan kata si botak Ancient One, “not everything does. Not everything has to.” Dr. Strange harus mampu, dengan kata lain, untuk menjadi tidak make-sense, untuk menunda atau mengekang akalnya, untuk memberikan pengecualian (exception) bagi rasionalitas, untuk supaya keajaiban Kamar-Taj bisa terjadi padanya. Tidak hanya itu, Dr. Strange harus “studying and training” untuk bisa menguasai ini semua. Apa yang dipelajari dan dilatih? tidak lain adalah menjadi tidak masuk akal! Momen lainnya adalah saat Dr. Strange dianugerahi gelar “Master” oleh si Botak. Apa kata Dr. Strange?—“I am not a master. I am a doctor: Dr. Strange!” Jawaban serupa dilemparkannya saat perjumpaan pertamanya dengan Kaecilius. Dr. Strange, dengan kata lain, hidup di antara tegangan dua dunia: sains dan mistik. Saat masuk di dunia mistik, ia harus menutup mata rasionalnya; sementara di dunia sains, ia harus menutup kitab-kitab mistiknya. Mistisisme, bagi Dr. Strange ini, tepat seperti formulasi Lacanian tentang keganjilan (uncanny), "I am certain of it, yet I am not ready to believe it.”5 Tapi, bukankah ini juga posisi kita semua terhadap keganjilan dari dunia mistik dan supernatural?

Saya tidak ingin masuk ke argumen standar ala Marvel (dan saya rasa seluruh film sci-fi standar). Yaitu bahwa sains dan magic adalah berbatasan secara kabur. Bahwa magic adalah akan tetap menjadi magic sampai kita memahaminya, dan berubahlah ia menjadi sains. Seperti ucapan modusnya Thor, “your ancestor called it magic, and now you call it science. I come from the place where they are one and the same thing.” Suatu efek yang bisa jadi juga dirasakan.

Tapi apabila kita sepakat dengan ini, maka sebenarnya kita hanya akan membungkam magic atas nama kedaulatan rasio. Kita akan melucuti aura magisnya dan menggantikannya dengan selimut formulasi saintifik, tanpa pernah memertanyakan efek auratis dan magisnya tersebut. Rasio tidak benar-benar berani menerima suatu kenyataan bahwa sebenarnya ada yang lain selain dirinya (wholly other). Biasanya, ini segera diikuti

Ungkapan-ungkapan yang menderita metafisika Prinsip Alasan Berkecukupan, “pasti ada alasannya! Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa alasan!” Ketimbang suatu statemen filosofis yang berani, ungkapan tadi sayangnya tidak lebih dari sekedar anestesia untuk menenangkan diri saja. Singkatnya, jalur ini bermasalah.

Sebenarnya, posisi Dr. Strange dan Kamar-Taj-ian lainnya juga adalah yang kita pegang saat berjumpa dengan hal-hal yang tidak mampu kita pahami. Saat melihat fenomena-fenomena yang tak terpahami ini terjadi, sama seperti Dr. Strange, kita menutup mata rasio kita tanpa berusaha menggenjotnya lebih jauh lagi, tanpa berusah memeriksa bahwa jangan-jangan cara berasio saya yang kurang tepat sehingga peristiwa ini tidak terpahami. Boro-boro demikian, dengan rasio kita langsung mengetokkan palu judgement rasional terhadap fenomena tersebut. Bisa kita daftar fenomena-fenomena yang tak terpahami yang dengan cepat kita beri judgement: ekstrimisme religius, irasionalitas kekuasaan, kedunguan penguasa yang sialnya berkuasa, ketak-terperian ketimpangan, dan hal-hal lain yang membuat Inul bernyanyi “saiki zamane zaman edan.” Padahal, tanpa mengonfrontir hal-hal supra-natural ini, kita justru berpotensi membiarkannya terus ada, tak terpahami. Kalau ini adalah seputar fenomena astral, misalnya, saya sih akan suka-suka saja. Namun lain soal kalau ini adalah segerombolan ekstrimis yang terus menebar ketakutan yang sialnya mereka dipelihara oleh penguasa yang juga ingin membuat kita semua ketakutan karena dengan demikian mereka punya alasan untuk berkuasa. Seperti kata Athena:
"never banish terror from the gate; that’s how your people may fear you.”

Tapi, persoalannya, bisakah rasio masuk ke dunia nir-rasio dan berusaha memahaminya?  Problem ini, yang saya sebut ‘problem astralitas’, adalah sesuatu yang harus dijawab oleh filsafat dan bukan dihindari.

Sumber Gambar: Deadpool UI


Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan

Outsider Art - Sebuah Catatan Seni Orang Gila



(oleh: Irfie Maellanie | Alumni Filsafat Universitas Indonesia)


No great genius has ever existed without a strain of madness
(Aristotle)

Gangguan mental kerap kali dianggap sebagai sebuah kondisi yang melumpuhkan penderitanya secara kognitif dan berimplikasi pada kemampuannya sebagai makhluk sosial dalam masyarakat. istilah orang gila untuk menyebut individu yang bertingkah di luar norma sosial dan etika yang disepakati dalam masyarakat seolah secara otomatis menempelkan stigma bahwa individu yang menderita gangguan psikotis hilang esensinya sebagai manusia yang dapat berpikir dan bersikap secara rasional, karena ketika seorang individu dinyatakan gila, maka artinya individu tersebut tidak rasional. Namun, bagaimana konteks irasionalitas yang ada dalam gangguan mental ini jika ditarik hubungannya pada seni? Adalah hal yang dirasa wajar dan sudah menjadi semacam inside joke skala global bahwa para pekerja seni mengidap disorder atau gangguan, entah pada kepribadiannya atau pada kejiwaannya.


Banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana kejeniusan sering diasosiasikan dengan gangguan mental. Vincent van Gogh disebutkan menderita bipolar, di luar konteks seni, filosof jenius, Immanuel Kant disebut memiliki personality disorder, dan bagaimana Beethoven yang merupakan komponis ternama dunia dapat menciptakan komposisi musik sedangkan ia menderita tuli? Lain halnya dengan Hector Berlioz. seorang komponis dari Perancis di jaman Romantik. Berlioz dengan sengaja menggunakan opium untuk merasangsang produktivitas kreatifnya. Bryan Lewis Saunders melakukan percobaan terhadap efek jenis obat-obatan dan melukis dirinya sendiri ketika ia dalam pengaruh obat tersebut. Hasilnya, masing-masing obat-obatan yang digunakannya, mulai dari crystalmeth, kokain, hingga obat batuk merubah perspektif atas dirinya sendiri yang dapat dilihat dari hasil lukisan-lukisannya.

Dalam sejarah perkembangan dunia seni lukis, kita mengenal aliran Surealisme, Kubisme, Romantisme, Impresionisme, Ekspresionisme, Naturalisme, Realisme, Fauvisme, Dadaisme, Futurisme, Pop Art, Abstraksionisme, dan masih banyak lagi aliran dan jenis seni lukis lainnya yang terus berkembang sebagai konsekuensi semangat zaman yang dinamis. Namun di tengah perkembangan seni tersebut, lahir jenis seni yang mengakomodasi seniman-senimannya yang mengalami gangguan jiwa. Seni tersebut bernama Outsider Art.

Sejarah kemunculan seni ini mengikuti perubahan paradigma terhadap penanganan orang-orang yang menderita gangguan mental. Tidak ada catatan pasti siapa orang pertama yang menderita gangguan jiwa, tetapi orang-orang yang menderita gangguan mental pernah mengalami sejarah kelam dalam penanganan penyakitnya. Mulai dari penanganan dalam bentuk doa-doa, pengurungan, pemasungan, diet, suntik insulin, perintah bedrest dari dokter, hingga percobaan operasi otak yang justru malah merusak fungsi otaknya itu sendiri. Orang-orang yang mengalami gangguan mental mulai diperlakukan sebagai manusia setelah kematian Freud. Salah satu terapi yang diberikan kepada pasien yang dirawat di insitutsi psikiatri adalah dengan seni atau disebut juga sebagai art therapy.

Ketertarikan terhadap seni yang dilahirkan dari institusi psikiatri dimulai dari penemuan Jean Dubuffet atas karya-karya yang tidak biasa tersebut di institusi psikiatri di Prancis dan Swiss setelah Perang Dunia II. Singkatnya, penemuan karya-karya yang dilahirkan oleh pasien institusi psikiatri ini dianggap sebagai sebuah penemuan yang mengafirmasi bahwa orang gila menciptakan karya yang juga gila. Mengutip Maclagan, paling tidak ada dua alasan mengapa seni ini menjadi istimewa. Pertama karena karena seni yang dilahirkan di institusi psikiatri ini bukanlah seni yang selama ini kita kenal, dan kedua karena penciptanya seolah-olah tidak memiliki motif biasa dalam penciptaan karyanya. Motif ini disebut oleh Freud sebagai fame, money, and the love of women atau popularitas, uang, dan kecintaan terhadap perempuan.

Konsep Outsider Art sendiri menawarkan cakupan yang lebih luas, artinya seni ini bukan hanya eksklusif milik orang-orang psikotis yang dirawat di institusi psikiatri. Maclagan mendefinisikan Outsider Art sebagai seni yang diciptakan oleh orang-orang yang tidak mengikuti ekspektasi sosial dalam hal nilai-nilai dan definisi kenormalan hingga para penciptanya sendiri tidak merasa atau mengklaim dirinya adalah seniman. Sebuah seni yang tidak berhutang pada kebudayaan, seni yang tidak memiliki tempat dalam buku atau museum apapun. Dengan kata lain, para senimannya adalah orang-orang yang merasa bahwa dirinya tidak memenuhi persyaratan konvensional, baik secara sosial, psikologis,  maupun artistik pada kebudayaan yang mereka hidupi. Outsider Art sendiri bagi Dubuffet tidak dapat dibandingkan dengan cultural art, karena seni ini merupakan seni yang superior karena memuat ekspresi yang tanpa basa-basiia diciptakan begitu saja sebagai sebuah bentuk ekspresi seni yang murni.

Seni sebagai salah satu upaya untuk memahami mind para seniman yang gila bukanlah merupakan hal yang aneh dalam dunia psikiatri. Yang menjadi dasar pemikirannya adalah gagasan bahwa seni sebagai terapi dalam praktek di institusi psikiatri merupakan ekspresi yang subversif dan individualistik, namun disaat yang bersamaan merupakan proses otomatis hasil kerja ketidaksadaran.

Tidak diketahui secara pasti jika Berlioz menderita gangguan mental, tetapi penggunaan opium (yang semula bertujuan untuk menghilangkan sakit giginya) untuk merangsang kreativitasnya paling tidak menunjukkan bahwa ada sesuatu yang ditawarkan oleh gangguan atau disorder kepada orang-orang yang menciptakan karya dari kemampuan mereka berimajinasi. Sebuah perspektif yang berbeda yang hanya bisa dilihat dari kacamata sebuah disorder.

Menghubungkan kondisi kejiwaan seniman dengan karya seninya, maka seni yang dilahirkan dari perspektif kreativitas orang gila yang dimarjinalkan dari aturan kebudayaan sosial seolah menggugat posisinya dalam narasi besar seni. Nama-nama besar dalam seni seperti van Gogh dan Beethoven yang karyanya dipuja dalam cultural art, setelah ditelusuri ternyata mengalami gangguan pada kejiwaannya. Sudah saatnya pula, karya para hidden geniuses yang ada di balik pintu kamar institusi psikiatri dianggap serius dalam diskursus narasi seni.


Sumber:

Blom, Jan Dirk. 2010. A Dictionary of Hallucinations. London: Springer.

Carota, Antonio, et al. 2005. dlm. Understanding Van Gogh's Night: Bipolar Disorder.

Neurological Disorders in Famous Artists Part 1. Basel: Karger.

Guard, Oliver dan François Boller. 2005. dalam. "Immanuel Kant: Evolution from a Personality 'Disorder' to a Dementia". Neurological Disorders in Famous Artists Part 1. Basel: Karger.

Hayter, Alethea. 1986. Opium and the Romantic Imagination. Berkeley and Los Angeles, California: University of California Press.

Maclagan, David. 2009. Outsider Art From the Margins to the Marketplace. London: Reaktion Books, Ltd.

Rosen, Charles. 1972. The Classical Style: Haydn, Mozart, and Beethoven. New York: W.W.Norton & Company.

Saunders, Bryan Lewis. tt. Under The Influence. http://bryanlewissaunders.org/drugs/

Wolf, Paul L. 2010. dlm. "Hector Berlioz and Other Famous Artists with Opium Abuse". Neurological Disorders in Famous Artists Part 3. Basel: Karger.

Sumber Gambar:

Daniel Johston Outsider Art


Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan

YouTube dan Kosmologi Digital


(oleh Fajar Aji | Mahasiswa Filsafat UI)

Latar Belakang YouTube

YouTube adalah sebuah situs media sosial video yang bermarkas di San Bruno, California, Amerika Serikat. Didirikan oleh Steve Chen, Chad Hurley dan Jawed Karim, yang merupakan 3 mantan pegawai PayPal dan pertama kali diluncurkan pada Februari 2005, secara resmi pada bulan Desember. Ide awal dari ketiga founder dari YouTube ini cukup unik, Karim ketika itu merasa kesulitan karena video viral di Amerika ketika itu tidak bisa ia temukan, sedangkan Chen dan Hurley terinspirasi oleh situs kencan dan merasa penting bagi pengguna situs kencan untuk menaruh video sebagai promosi bagi diri mereka sendiri, dari dua ide yang cukup aneh tersebut terciptalah YouTube. Video pertama yang diunggah di situs ini berjudul Me at the Zoo, sebuah dokumentasi singkat dari Karim di Kebun Binatang San Diego. Setelah situs ini berkembang, Google kemudian mengakuisisi situs ini pada November 2006 dan hingga hari ini, YouTube adalah salah satu aset besar yang dimiliki perusahaan teknologi tersebut.

Dengan semakin besarnya YouTube sebagai wadah berbagi video, para content creator, atau sebutan lain untuk YouTuber, menjadi lebih kreatif dengan apa yang ingin sajikan. Sehingga banyak anggapan, YouTube adalah sebuah alternatif baru atas sajian visual dibandingkan dengan televisi. Konten yang disajikan kreator di YouTube sangatlah beragam. Dari konten positif seperti edukasi, musik, komedi, reactions, dan film pendek, dengan munculnya beberapa channel seperti Wisecrack, Game Theorist, Fine Brothers Entertainment, Boyce Avenue, Kurt Hugo Schneider dan Tyler Oakley. Hingga konten “negatif", seperti Dark Humor, social commentary, horor dan hal-hal yang masih dalam sirkulasi perdebatan sosial, dengan channel seperti iDubbbzTV, h3h3productions, dan tidak lupa, TVFilthyFrank. Para YouTuber ini kemudian mendapatkan penghasilan dari Google AdSense, dimana Google dengan para YouTuber melakukan kerjasama yang kemudian Google akan menaruh iklan pada awal, tengah atau akhir video, tergantung dari durasi video yang diunggah.

Censorship, Hyper reality, dan Privacy

YouTube sendiri bukanlah sebuah situs tanpa masalah. Beberapa persoalan seperti copyright and fair use serta censorship mengemuka diakhir-akhir ini. Seperti dalam dunia industri lainnya, dua permasalahan ini kemudian muncul ketika banyak YouTuber dalam proses pembuatan video mereka menggunakan musik atau potongan-potongan video dari pihak lain ataupun penggunaan kata-kata (yang bagi pihak YouTube) kasar ataupun tidak sesuai dengan community guideline. Dari segi copyright ataupun fair use, sebenarnya beberapa content creator di internet (entah di YouTube ataupun situs lainnya) biasanya menyantumkan bagaimana karya mereka hadir dalam ruang lingkup hak cipta. Akan tetapi, dalam beberapa kasus para YouTuber mengeluhkan beberapa copyright strike yang dilakukan YouTube tidak memiliki alasan jelas, juga terkadang pihak yang melancarkan strike tersebut justru bukanlah pihak yang bersangkutan. Tidak jarang juga dilancarkan pihak-pihak perusahaan besar dan bagi sebagian YouTuber ini adalah sebuah kelaliman YouTube untuk melindungi perusahaan besar. YouTube melakukan ini bukanlah tanpa dasar, banyak gugatan hukum atas hak cipta dilakukan beberapa organisasi seperti Viacom, Mediaset dan English Premier League berhasil membuat YouTube kalang kabut dengan biaya kerguian yang dapat mencapai milyaran Dollar Amerika. Gugatan tersebut, bisa jadi, adalah alasan mengapa perihal copyright dan fair use ini semakin diperketat.

Pada tahun 2016, permasalahan censorship menjadi perhatian utama setelah YouTube mengeluarkan (baca: menggalakkan) peraturan advertiser-friendly guidelines. Aturan ini kemudian semakin memperkuat asumsi YouTuber mengenai “YouTube berusaha menyenangkan perusahaan besar dan ‘uang’ mereka”. Peraturan ini mengandung kontroversi dengan adanya butir-butir aturan yang memiliki unsur ketidakjelasan di dalamnya, dari larangan penggunaan kata kasar, hingga larangan pembahasan konflik politik dan perang meskipun gambar atau video tidak ditunjukkan. Jika video memiliki unsur tersebut, maka video tersebut tidak akan bisa diiklankan. Jelas sekali YouTuber akan dirugikan, karena mereka tidak bisa mengeluarkan pendapat mereka akan suatu pembahasan politik dan juga kehilangan penghasilan mereka. Contoh yang paling jelas terjadi pada kasus ini terjadi pada salah satu YouTuber senior, Philip DeFranco dimana ia membahas beberapa berita terbaru dari dunia internet, teknologi, maupun sosial politik yang terjadi di Amerika dalam konten-konten videonya. Beberapa videonya tidak bisa diiklankan bahkan video lamanya dihilangkan penghasilan iklannya. Baginya ini adalah sebuah kekacauan, dia kemudian tidak merasa rugi karena dia bisa mendapatkan penghasilan lain dari merchandise yang ia jual serta beberapa endorsement. Akan tetapi, bagaimana dengan channel yang lebih kecil dengan pendapatan yang tidak sebesar Philip DeFranco?

Permasalahan konten pun menjadi salah satu yang diperhatikan dalam komunitas YouTube terutama para penonton. Dijelaskan sebelumnya, konten video di YouTube memiliki keberagaman dari sisi positif dan negatif. Klasifikasi konten ini didasarkan pada reaksi penonton, dapat berupa komentar ataupun berupa rasio like dan dislike. Video yang disajikan sisi negatif seringkali berupa social commentary dimana masyarakat sangat merasa dekat dengannya. TVFilthyFrank adalah salah satu contohnya, video-video dari channel ini biasanya berupa komentar seorang Filthy Frank mengenai hal-hal populer dan viral di internet. Seperti fenomena weeaboo yang terjadi di kalangan pecinta sub-kultur pop Jepang, hingga psychological disorder seperti depression serta penyakit seperti seizure dan lain sebagainya. Konten yang disajikan channel ini pastinya menimbulkan banyak komentar, dari yang menyetujui dan menyukainya, hingga yang membenci bahkan mengahrdik seorang Filthy Frank. Akan tetapi, semua yang ada di dalam channel TVFilthyFrank merupakan sebuah staged act belaka. Joji Miller (atau George Miller) adalah mastermind dari channel ini. Dalam deskripsi channel-nya ia menyampaikan bahwa Filthy Frank adalah tokoh dimana seseorang tidak seharusnya ada di dalam masyarakat, atau dengan kata lain Filthy Frank tidak mengindahkan apa yang disebut political correctness.

Hypereality, mungkin menjadi sebuah permasalahan yang bisa diangkat dalam permasalahan Filthy Frank. Garis batas antar realitas dan karakter menjadi jauh lebih tipis di dalam YouTube. Ketika kita menonton sebuah video dan kita menyaksikan seorang YouTuber berbicara dan menyampaikan sesuatu, kita selalu berpikir bahwa itulah yang dipikirkannya. Kita tidak melihat adanya kemungkinan bahwa apa yang kita lihat adalah sebuah rancangan. Kita tidak biasa melihat seseuatu yang “berkarakter” muncul di hadapan kita ketika melihat situs YouTube, dan dari sini kita seharusnya bisa menyadari hal tersebut. Dalam wawancaranya dalam TheNeedleDrop Podcast, George menyampaikan bahwa TVFilthyFrank merupakan sebuah komedi alternatif dan dihadirkan sebagai sebuah hiburan semata. Kemudian George juga menyayangkan bahwa penonton di YouTube tidak seperti di televisi, ketika orang melihat sesuatu yang hadir di TV mereka bisa memberikan batasan yang jelas. Mereka akan memaafkan Stephen Colbert ketika ia menjadi seorang konservatif ketika di TV, namun mengapa mereka tidak memaafkan seorang George Miller ketika menjadi Filthy Frank di YouTube?

Kita bisa mengatakan bahwa YouTube adalah sebuah alternatif hiburan. YouTube menyajikan konten yang dapat kita pilih sesuai preferensi kita. Ia bisa memberikan kita informasi yang bermanfaat hingga hiburan yang mungkin bagi beberapa orang tidak ada gunanya sama sekali. Namun, ketika ada ungkapan seperti “YouTube lebih dari TV,”? Saya cukup meragukan hal itu, karena YouTube dan TV adalah dua komponen media yang berbeda. Kita bisa berperan lebih di dalam YouTube, entah menjadi seorang content creator atau mungkin berbagi opini melalui comment section yang ada di setiap video. 

Selain sensorsip, dan hiperealitas, privasi juga menjadi soal yang cukup sentral. Permasalahan ini tidak hanya terjadi dalam dunia YouTube, namun dalam dunia virtual secara umum. Ketidakjernihan melihat hiperealitas menyuplai keingintahuan yang mendalam atas figur yang tampil di YouTube. Hilangnya privasi salah satunya terjadi karena basis hiperealitas disama dan sebangunkan dengan realitas. Beberapa kasus tercatat seperti PewDiepie, seorang YouTuber terkemukan tiba-tiba didatangi oleh penggemar, yang bahkan seharusnya dia dan kru yang mengetahui kamar hotel yang sedang dia inapi. Permasalahan ini mengundang pertanyaan mengenai basis privasi dalam arsitektural ruang digital. Kita bisa menghilangkan identitas pengunggah dari satu video dalam YouTube. Namun jejak material dalam kosmologi digital tidak akan hilang, mereka akan tetap bisa mengetahui IP pengunggah, bahkan dengan melompatkannya memakai proksi, akan selalu ada residu ketermungkinan untuk dicacah memakai kodifikasi tertentu.

Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan