oleh Fajar Bayu Aji | Director of Human Resource Deadpoøl Universitas Indonesia, Mahasiswa Filsafat UI
Star
Wars, yang merupakan sebuah mahakarya industri perfilman Hollywood,
merupakan sebuah tonggak awal berkembangnya genre fiksi ilmiah dalam
sejarah perfilman dunia. Menceritakan tentang pertarungan abadi antara
dua golongan pengguna The Force, yang merupakan medan energi yang
menghubungkan semua makhuk hidup satu dengan lainnya, dengan falsafahnya
masing-masing. Di dalam jalan cerita, dikisahkan Jedi, golongan
pengguna Force yang lebih mementingkan harmoni dibandingkan kekuasaan,
berusaha menghentikan dominasi Sith, golongan pengguna Force dengan
kekuasaan sebagai prioritas utama, yang sudah mengusai seluruh jagat
raya.
Dalam dunia yang
dikisahkan Star Wars, masing-masing dari golongan tersebut memiliki
“aturan dasar” yang menjadi pegangan atau falsafah yang dijalankannya.
Meskipun Jedi digambarkan sebagai protagonis yang mengingan kedamaian
diatas dominasi Sith, namun aturan dasar yang dianut Jedi mengandung
kode moral yang bisa jadi menindas subyektifitas para pengikut, anggota
atau kesatria Jedi itu sendiri. Dugaan yang muncul ini pun juga didukung
oleh penghianatan Anakin Skywalker, seorang padawanJedi (Jedi yang
masih dalam masa pelatihan), terhadap golongannya. Karena merasa dirinya
patut memperjuangkan keinginannya untuk melindungi keluarga dan
orang-orang yang dicintainya, yang kemudian merubahnya menjadi Darth
Vader, seorang Sith terkuat dan menjadi musuh terbesar golongan Jedi,
juga menjadi tokoh utama terbentuknya Galactic Empire kerajaan yang
dibentuk golongan Sith untuk menguasai jagat raya.
Sebagai
sebuah golongan yang besar dan memiliki ajarannya sendiri, Jedi
memiliki sebuah pandangan dasar atau falsafah yang dijadikan dasar para
kesatrianya dalam berperilaku dan mengambil keputusan. Pada dasarnya,
ajaran dari falsafah ini mengharuskan bagi para kesatria Jedi untuk
tidak menyerahkan dirinya kepada rasa amarah terhadap makhluk hidup
lainnya – dikisahkan dalam seri film ini bahwa manusia bukanlah
satu-satunya makhluk yang berkesadaran – yang dapat menjaga mereka dari
rasa takut dan “terjerumus” kedalam sisi gelap dari Force. Dengan kata
lain, menjadi anggota atau kesatria Sith.
“Tidak ada emosi, hanya ada kedamaian
Tidak ada kebodohan, hanya ada pengetahuan
Tidak ada gairah, hanya ada ketenangan
Tidak ada kekacauan, hanya ada harmoni
Tidak ada kematian, hanya ada The Force”
-The Jedi Code (Star Wars: Dark Disciple)
Jika
kita melihat isi dari code tersebut, Jedi adalah kumpulan pengguna
Force yang berusaha untuk menjaga hidupnya agar tetap stabil sehingga
menciptakan harmoni antar tiap makhluk hidup yang memang terhubung juga
dalam satu medan energi Force. Akan tetapi, dalam menjalankan ini para
Jedi mengharuskan menutup diri mereka dari segala sifat-sifat kealamian
manusia yang memang memiliki keenam hal yang dikatakan “tidak ada” dalam
code tersebut. Dalam sejarah pemikiran yang berlangsung selama
berabad-abad, banyak pemikiran yang mengatakan bahwa hal-hal yang
disampaikan di atas merupakan hal yang dibutuhkan manusia agar terbebas
dari segala penindasan-penindasan. Kita juga mungkin melihat bahwa tidak
ada kecacatan dalam code ini untuk mewujudkan jagat raya yang damai,
akan tetapi apa yang terjadi kepada Anakin Skywalker dalam kisah Star
Wars ini menjadi contoh betapa ia ingin terbebas dari penindasan.
Skywalker, yang merupakan seorang Padawan Jedi, merasa tertindas dengan
ajaran Jedi dimana ia harus berusaha menahan emosi atau rasa cintanya
terhadap Padme Amidala, yang kemudian menjadi istrinya. Berulang kali ia
berusaha melindungi orang terkasihnya tersebut hingga dia menjadi Sith.
“Kedamaian adalah sebuah kebohongan, hanya ada gairah
Dengan gairah, aku meraih kekuatan
Dengan kekuatan, aku meraih kekuasaan
Dengan kekuasaan, aku meraih kemenangan
Dengan kemenangan, rantaiku (yang membelenggu) terlepas The Force akan membebaskanku”
-Jalan Sith (Book of Sith: Secrets from The Dark Side)
Di
sisi lain, Sith memiliki falsafah yang mengajarkan bahwa Force
seharusnya membuat manusa menjadi pribadi yang berkuasa atas dirinya
sendiri dan menjadi bebas. Falsafah dari Sith mungkin akan terkesan
arogan. Akan, tetapi kita akan bisa melihat bagaimana para kesatria Sith
berusaha selalu menjadi lebih kuat dan meraih kemenangan, paling tidak
atas dirinya sendiri, kemudian pada akhirnya membebaskan diri mereka
dari rantai yang membelenggu mereka. Star Wars memanglah memiliki kesan
bagi seluruh penggemar dan jutaan pasang mata yang menyaksikannya. Seri
film ini juga menjadi budaya populer yang mendunia dan menginspirasi
banyak sineas perfilman di seluruh dunia untuk terus mengembangkan
karyanya di genre fiksi ilmiah. Dipenuhi dengan drama dan aksi yang
menakjubkan. Jika dilihat dari penjelasan yang sudah disampaikan,
perjuangan yang dilakukan oleh Jedi dan Sith bukanlah perjuangan “benar”
dan “salah”, melaikan perjuangan untuk dapatkan harmoni atau
mendapatkan kebebasan subyektifitas.
Kemudian,
menjadi menarik bagaimana seri film ini memberikan nilai pembelajaran
kepada penontonnya dengan tidak memberitahukan secara jelas manakah
pihak yang benar dan mana yang salah. Perspektif yang digambarkan dalam
film ini hanyalah golongan Jedi sebagai protagonis dan Sith sebagai
antagonis, dimana istilah protagonis dan antagonis bukanlah istilah yang
juga menjelaskan baik dan buruk. Namun, jika kita berkaca dengan apa
yang disampaikan pemikiran-pemikiran yang berusaha untuk membebaskan
subyektifitas dari segala belenggu penindasan adalah refleksi dari Sith
yang memang memanfaatkan Force sebagai medan energi yang membebaskan
mereka.
Sumber: Deadpool UI
Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar