Jumat, 08 April 2016

Diskusi Umum 24 Maret


*Pertama-tama, kami dari Tim Cangkir Putih memohon maaf atas keterlambatan posting ini dikarenakan blogger kita mengalami kendala dalam akses internet, tetapi kami tetap berharap bahwa posting ini bermanfaat untuk semua.





Moderator: Tanda Rizky Gani (Ilmu Sejarah 2015)
Pembicara: Bayu Febianto (SEMAR UI)
Peserta: Mahasiswa FIB UI, FISIP UI, dan Vokasi UI

Pada tanggal 24 Maret 2016, Cangkir Putih FIB UI mengadakan forum diskusi dengan mengangkat tema "Realisme dalam Kritik Sastra: Masihkah Seperti Dulu?". Forum ini merupakan forum pertama yang dilaksanakan pada tahun ini. Forum berlangsung selama 2 jam, dari pukul 16.30 hingga pukul 18.30 di Ruang 9208, Gedung IX FIB UI.

Realisme adalah sebuah pemahaman yang melihat  kenyataan sebagai hal yang terpisah dari diri pengamat. Sedangkan, Kata ‘kritis’ dalam nama realisme kritis menegaskan bahwa pengetahuan tentang kenyataan tidak bisa dikembangkan terlepas dari gagasan dan konsep yang telah ada. Jadi, realisme kritis dalam sastra merupakan pemahaman dengan melihat kenyataan tidak hanya bedasarkan kepada empiris saja namun , juga ikut memastikan dengan cara menyelami lebih dalam dan ikut "turun ke basis" (turba) agar kita bisa tahu dan merasakan realitas yang sebenarnya. Dari situ, kemudian akan muncul proses kreatifitas yang nantinya akan memunculkan realisme kritis yang dituangkan dalam karya sastra. Karya sastra yang dihasilkan pun bermacam-macam, tetapi perlu diketahui bahwa apa yang dituangkan didalam karya sastra tersebut harus sesuai dengan tujuannya. Seperti contohnya, puisi karya Wiji Thukul yang ingin menulis tentang kenyataan kehidupan kelas pekerja yang tidak banyak diketahui oleh kalangan kelas menengah. Tapi perlu kita ketahui lebih lanjut, bahwa sebenarnya puisi ini ditujukan kepada golongan kelas pekerja agar dapat kemudian sadar dan begerak. Oleh karena itu, kata-kata yang tersusun didalam puisi ini sebagian besar adalah kata-kata yang mudah dimengerti oleh golongan pekerja tersebut. Perkembangan realisme kritis dalam sastra di Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Seperti contoh, zaman Balai Pustaka kemudian Angkatan'45. Tentunya dari masing-masing era nya tersebut mencirikhaskan keadaaan zamannya masing-masing pada saat itu hingga terus sampai ke pasca 1965. Di era ini sastra amat terbatasi terutama bagi golongan-golongan yang ingin mengkritisi pemerintahan saat itu. Walaupun sebelum masa itu, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berkembang terlebih dahulu sebelumnya dan terkenal dengan aksi "turba" (turun ke basis). Lekra ini mengadopsi setiap karya seni dan budaya menceritakan tentang rakyat dan berasal dari rakyat. Dan kemudian, baru lah pada bulan Desember 1998 terbentuk sanggar Taring Padi oleh mahasiswa Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia yang ingin meniupkan kembali napas “kebudayaan kerakyatan” yang disuntik mati oleh Soeharto pada rezim Orde Baru. Pada masa sekarang ini, tentunya kita sudah terlepas dari keterbatasan-keterbatasan tersebut. Para sastrawan bisa kembali mendalami sebuah realitas yang seperti kita tahu Indonesia pasca reformasi masih banyak dilanda masalah. Para sastrawan dan kaum intelektual seperti mahasiswa, harus bisa lebih berani untuk menyelami lebih dalam agar bisa kemudian menghasilkan kreatifitas yang akan dituangkan dalam karya sastra. Tidak hanya sebatas itu, banyaknya sumber-sumber sejarah yang ada yang menggambarkan kehidupan pada masa lalu juga bisa digunakan untuk bisa menjadi sumber dalam membuat sebuah realisme kritis dalam sastra. Oleh karena itu, pada masa ini tentu bisa lebih bebas untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang kenyataan-kenyataan yang tidak hanya terjadi sekarang namun juga di masa lampau, karena tidak terbatasi dan para sastrawan juga bisa bergerak bebas. Jadi, apalah masih sama seperti dulu?? Jawabannya adalah kembali ke pribadi kita masing-masing sebagai kaum intelektual. Bila kita  berani untuk bergerak tentunya, justru akan bisa banyak melahirkan karya-karya sastra dan melahirkan Wiji Thukul atau Chairil Anwar yang baru. Tetapi sebaliknya, jika kita tetap takut untuk bergerak justru akan membuat tidak adanya perbedaan dari dulu hingga sekarang yang membuat seakan sastrawan dan karya-karyanya tersebut seakan tetap "tertidur" karena masih merasa seakan masa sekarang sama seperti dulu. Berikut puisi yang ditulis oleh Wiji Thukul dalam menanggapi realisme ini.


barusan 
lenyap 
upah kerja sebulan 
sekejap 
lenyap 
sekejap saja mampir di kantong 
dipotong spsi (*serikat buruh bentukan pemerintah. –Red.) 
sewa rumah bon di warung 
odolshampo dan ini itu 
kantong kembali kosong 
di lantai lembab bertopang dagu 
di paku-paku bergelantungan 
anduk basah dan cucian 
dalam tempurung kepala 
jelas terbayang 
hasil kerja memenuhi bak mobil 
mobil angkutan 
dibawa kapal menyeberangi lautan 
memasuki toko toko sudut sudut 
benua 
dan tiap akhir bulan 
kami yang mengupas kapas 
jadi wujud kain 
kain kain serupa pelangi 
tiap akhir bulan 
di bawah lampu penerang 
rumah kontrakan 
yang remang-remang 
mengotak-atik 
kertas slip (*rincian upah. -Red) 
seperti anak SD 
mencari jawaban 
soal matematika

Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar