Rabu, 12 Oktober 2016

OLIMPISME: OLAHRAGA SEBAGAI FENOMENA BUDAYA BANGSA



oleh: Alamsyah (Ilmu Sejarah FIB UI)

Olahraga kian hari semakin mendapat tempat di era modern dewasa ini, yang menjadi salah satu solusi untuk menjawab kebutuhan fisik dan mental manusia. Diselenggarakannya Olimpiade Rio 2016 yang mempertandingkan 28 cabang olahraga dan diikuti 206 negara peserta dengan pembukaan Olimpiade diwarnai pidato dari Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC), Thomas Bach. Dalam pidatonya, Bach menyerukan bahwa di Olimpiade ada satu peraturan yang berlaku buat semuanya, yaitu kita adalah sama. Dari situlah, olahraga bukan hanya menjadi sarana hiburan semata, tetapi pengenalan individu dengan kelompok untuk membangun kebersamaan yang meningkatkan ketentraman, keselamatan mental, dan pikiran manusia.

Olahraga merupakan fenomena budaya yang memiliki hubungan yang erat dengan rangkaian institusi sosial dan karakter masyarakat. Untuk itu, olahraga juga dijadikan sebagai parameter menilai kemajuan masyarakat sebuah bangsa dan negara. Berkembangnya parameter untuk menilai olahraga seperti; olahraga untuk hiburan, keselamatan, lapangan kerja, pertahanan dan bela negara, atau sebagai faktor budaya dan berbagai parameter lainnya.

Dalam aktivitas olahraga juga tersimpan filosofi kehidupan yang mencerminkan keseimbangan antara jasmani dan rohani, yaitu semangat olimpisme. Paham olimpisme berasal dari sejarah olimpiade kuno yang mengajarkan nilai-nilai filosofi yang mendalam tentang olahraga. Olimpisme mengharmoniskan kehidupan keolahragaan dengan pendidikan dan kebudayaan. Semangat olimpisme menciptakan keselarasan hidup yang didasarkan nilai penghargaan pada prinsip dan etika.

Pada mulanya, olimpiade adalah festival olahraga yang merupakan bagian dari ritual keagamaan bangsa Yunani untuk menyembah Dewa Zeus. Rangkaian ritual keagamaan tersebut ditutup dengan festival olahraga selama satu minggu sebagai perwujudan rasa syukur. Nilai-nilai olimpiade kuno mengajarkan kepada kita dalam perdamaian yang utuh tanpa diskriminasi.

Menurut Baron Pierre de Coubertan, penggagas olimpiade modern, mengatakan, “to educate young peoples through sport on spirit in better understanding between each other and of friendship thereby helping to build a better and more peaceful world”. Selaras dengan pernyatannya, olimpisme juga mengajarkan pembinaan pribadi secara terpadu antara fisik, jiwa dan pikiran. Selain itu, mengajarkan bahwa tujuan olahraga adalah kemuliaan manusia seutuhnya.

Oleh karena itu, tujuan olimpisme adalah perdamaian dunia yang menjadikan dasar fundamental dan filosofi kehidupan yang mencerminkan dan mengkombinasi antara jasmani, rohani, keolahragaan, pendidikan, dan kebudayaan. Penyelenggaraan olahraga multi event yang diselenggarakan secara berjenjang diharapkan akan bermuara pada prestasi dan dapat juga digunakan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat dunia terhadap budaya berbagai bangsa yang pada akhirnya terbangun saling pengertian, toleransi, serta sebagai upaya sosialisasi dan pemahaman budaya.


Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan

Pembahasan RUU Kebudayaan dalam Kongres VIII ILMIBSI



[Sebelumnya, kami dari Cangkir Putih menyambut kembali laman blog ini setelah penulis blog lama vakum oleh karena adanya urusan di berbagai organisasi]

Depok, FIB UI - Kongres VIII ILMIBSI dalam simposiumnya, Kamis (28/07/2016), membahas RUU Kebudayaan. Sebanyak 40 delegasi dari 17 universitas di Indonesia membahas RUU ini yang dibagi menjadi empat FGD (Focus Group Discoussion). Sebelumnya, Cangkir Putih FIB UI memaparkan kajian tentang kecacatan di dalam RUU ini.

"Hak kebebasan berkebudayaan dijamin oleh negara, namun anehnya negara juga berwenang dalam mengendalikan kebudayaan, seolah-olah masyarakat adalah objek kebudayaan. Ini jelas mencederai sifat kebudayaan yang dinamis", ujar Setyo Agung, pengawas inti Cangkir Putih sekaligus ketua Departemen Keilmuan dan Kajian Budaya BEM FIB UI 2016. "Penegasan tentang kebudayaan sebagai ide dan sebagai benda dalam RUU ini juga diperlukan karena dalam draft RUU ini konsep kebudayaan secara ide dan bendawi masih dicampur adukan. sehingga mana yg mau diatur jadinya bingung dan menurut saya yang paling utama adalah bagaimana pemerintah mampu menerjemahkan nilai-nilai luhur dalam kebudayaan bangsa ke dalam RUU ini", lanjutnya. Draft RUU Kebudayaan sudah digagas oleh DPR sejak tahun 2005. Dan saat ini sudah masuk kedalam Prolegnas tahun 2015-2019. Seluruh peserta kongres sepakat untuk mengkaji lebih lanjut RUU Kebudayaan di universitas masing-masing.

"Semua pasti tahu betapa kayanya Indonesia jika berbicara tentang kebudayaan. Apabila RUU ini dibawa ke daerah masing-masing dalam rangka sosialisasi dan pembahasan, hal tersebut akan semakin menguatkan RUU itu sendiri. Dengan harapan, prosesnya akan menghasilkan kajian yang kritis dan membangun", ujar delegasi FBS UNESA, Dani Alfianto. Senada dengannya, delegasi FIB UNSRAT, Ayung Lukisan menambahkan, "Itu merupakan hal yang positif. Masih ada kerancuan dalam beberapa pasal." FIB UNSRAT juga berencana akan mengadakan seminar tentang RUU Kebudayaan dan turut mengundang aktivis kebudayaan serta pemerintah.

Ketua BEM FIB UI 2016, Moh. Agus Fuat menyampaikan rasa terima kasih atas kinerja seluruh panitia kongres. Ia juga mengapresiasi semangat para delegasi sehingga memberikan warna baru di kongres tahun ini. "Kongres ini semoga menjadi sejarah baru untuk kelembagaan mahasiswa budaya dan sastra se-Indonesia ini. Kehadiran perwakilan dari Aceh sampai Papua juga menggenapkan kebahagiaan kami. Ke depan kami berharap kesepakatan akan pengkajian lebih dalam dan mengawal RUU Kebudayaan ini bisa disosialisasikan di kampus masing-masing", tukas Fuat. Rangkaian Kongres VIII ILMIBSI berakhir pada 30 Juli dan ditutup dengan agenda wisata budaya ke Galeri Nasional, Museum BI, Monas dan Kota Tua.

Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan