Kamis, 19 Januari 2017

Arrival (2016): Bahasa, Kemanusiaan, dan Takdir



oleh Dini Adanurani | Vice-Director of Creative Board Deadpoøl Universitas Indonesia, Mahasiswa Filsafat UI

Ketika 12 UFO mendatangi titik-titik acak di muka bumi, ahli linguistik Louise Banks (Amy Adams) yang sedang bergumul dengan masa lalunya, direkrut militer yang diwakili Colonel Weber (Forest Whitaker) untuk mencari tahu tujuan mereka datang ke Bumi. Bekerja dengan ilmuwan Ian Donnelly (Jeremy Renner), Louise berusaha mendekati mereka, “menyamakan frekuensi” demi kelancaran komunikasi. Karena komunikasi ‘adala koentji’. 

Arrival diangkat dari sebuah cerita pendek, The Story of Your Life oleh Ted Chiang. Setelah menonton filmnya yang megah, sudut pandang penikmat saat membaca cerita sedikit dipersempit, sebab cerita pendek ini kurang memberi perhatian kepada latar suasana kekacauan global dan militer yang sedang terjadi. Tapi bagi yang ingin mengulik lebih dalam hubungan pribadi Louise dan penjelasan dari teori-teori linguistik dan fisika dari Arrival, cerita ini sangat direkomendasikan. 


BAHASA DAN KEMANUSIAAN
 
Faktor utama yang membuat Arrival menjadi kesegaran baru di ranah fiksi ilmiah adalah fokusnya terhadap linguistik. Seluruh konsep film ini bergantung kepada subjek humaniora yang “melekatkan manusia dan peradaban, namun menjadi senjata pertama yang dikeluarkan dalam kondisi konflik”—kalimat yang dikutip Ian Donnelly dari pengantar buku Louise Banks. 

Donnelly juga berkomentar kepada Banks dalam film, bahwa ia “meneliti bahasa seperti ahli matematika”. Menarik untuk melihat bahasa yang sehari-hari saya dan anda perlakukan sebagai alat untuk memenuhi keinginan pribadi, dalam film ini diperlakukan sebagai objek penelitian—tak ubahnya katak yang dibedah dalam eksperimen biologi. Ketika tim bahasa harus menyampaikan pertanyaan tujuan para alien datang ke bumi, pertanyaan itu dikupas habis menjadi inti-inti yang harus dipahami pihak alien tersebut agar bisa memahami pertanyaan itu secara keseluruhan: misalnya, alien harus terlebih dulu memahami kata tanya, dan mengetahui perbedaan maka ‘you’ secara singular dan jamak. Bahasa sebagai konsep sejatinya sangat rumit—manusia bisa memahami begitu banyak hal sampai bisa berkonversasi verbal dan non-verbal seperti sekarang. Situasi menjadi filosofis ketika kita harus menggali, apa yang membuat manusia bisa memahami sesuatu, dan bagaimana cara mentransfer pemahaman itu ke orang lain. 

Dalam film-film sci-fi, teknologi umumnya digunakan dengan tujuan eksploitasi. Manusia sudah mengacaukan planet bumi, jadi, saatnya kita mencari planet baru untuk dikacaukan! Oh, kita belum pernah melihat makhluk ini sebelumnya, ayo kita tangkap dalam tabung kaca lalu kita teliti. Kalau tidak, digambarkan sebaliknya—manusia-lah yang dikejar-kejar alien jahat. Di sisi lain, bahasa dikenal sebagai cara berdiplomasi yang paling damai, di mana kedua pihak menyatakan apa yang mereka inginkan, dan mencari cara untuk berkompromi. Di tengah kekalutan militer berskala global, para tokoh utama kita hanya berusaha mencoba mengetahui maksud pihak alien. Dalam situasi ini manusia dan alien setara, keduanya sama-sama pihak luar yang berusaha mencari landasan yang sama, sekalipun pengetahuan dan cara berbahasa pihak alien lebih kompleks daripada manusia. 

Para ilmuwan dalam Arrival berusaha saling memahami dengan cara bertukar konsep dengan para alien, baik dalam bahasa (memperkenalkan konsep seperti nama spesies, nama pribadi, kata kerja, kata ganti, dll) dan dalam matematika dan fisika (mendemonstrasikan konsep-konsep seperti geometri, aljabar, dan kalkulus). Kembali lagi kepada hakikat bahasa, sebagai alat yang digunakan untuk membangun konsep. Kedua pihak boleh jadi melihat realita dengan cara yang berbeda, namun ketika kedua pihak menggunakan bahasa untuk menuangkan realita versi masing-masing ke dalam bentuk konsep yang dapat dimengerti keduanya, terjalinlah pengertian dan interaksi lebih lanjut. 


HIPOTESIS SAPIR-WHORF
 
Arrival didasarkan pada hipotesis Sapir-Whorf, prinsip linguistik yang berpandangan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara pandang penggunanya. Ada dua versi hipotesis ini, versi pertama adalah relativisme linguistik, bahwa bahasa mempengaruhi pikiran dan perilaku seseorang. Namun versi ekstremnya, determinisme linguistik, meyakini bahwa bahasa mempengaruhi kognisi seseorang dan menentukan realita seperti apa yang mereka persepsikan. Dalam artikel Marissa Martinelli untuk Browbeat, ia mewawancarai seorang ahli linguistik dan kognitif Universitas Illinois, Betty Birner, tentang pengalaman menonton Arrival sebagai seorang ahli linguistik, dan seberapa akuratnya film itu terhadap teori yang ada. Menurutnya, meskipun determinisme linguistik yang dicomot untuk menjadi fondasi film ini teori yang kurang populer di antara para ahli, teori tersebut sudah diadopsi dengan tepat. 

Teori ini dikembangkan dalam film berdasarkan sebuah pengandaian: jika manusia berhasil mempelajari bahasa alien dari dimensi lain yang mampu mempersepsi waktu secara nonlinear, akankah manusia dapat mempersepsi waktu dengan cara yang sama?

Heptapod memahami waktu sebagai sesuatu yang nonlinear; serangkaian kejadian yang eksis dalam saat yang bersamaan, sementara batas-batas waktu melebur. Ini yang dijelaskan sebagai moda kesadaran serentak (simultaneous consciousness) dalam The Story of Your Life, berbeda dengan kesadaran sekuensial (sequential consciousness) yang dimiliki manusia. Dalam kesadaran serentak, masa kini dapat dianalogikan sebagai satu titik yang ada dalam peta besar yang bisa mereka lihat secara utuh. Otomatis mereka tahu apa yang akan terjadi di masa depan, meskipun mereka tidak memahaminya sebagai “masa depan”.

Namun berdasarkan akal sehat, apakah hal ini bisa benar-benar terjadi di dunia nyata? Katakanlah, manusia berhasil mempelajari bahasa tersebut. Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf, bahasa ini akan mempengaruhi cara pikir manusia—dalam hal pemecahan masalah misalnya, manusia akan mampu berpikir dengan pola out-of-the-box dan mengajukan solusi yang tidak biasa, karena terbebas dari kekangan sudut pandang manusia yang linear. Tapi manusia takkan bisa melihat realita dalam level kesadaran yang sama dengan  para alien tersebut. Manusia hanya mampu melihat representasi waktu sebagai hubungan sebab-akibat; tidak sebagai waktu itu sendiri, karena waktu berada di luar kesadaran sekuensial yang mampu dicapai manusia. 



REALITA HEPTAPOD DAN DETERMINISME
 
Dalam film, diperlihatkan kilasan-kilasan peristiwa yang akan datang dalam kehidupan Louise Banks, dan bagaimana ia memutuskan untuk mengikuti alur itu sebagaimana mestinya. Masa depan memang memberikannya “resep untuk menyelamatkan dunia”, namun juga menunjukkan bahwa hubungan yang akan dibinanya dengan Ian Donnelly gagal dan anak mereka meninggal karena sebuah penyakit kronis. 

Secara moral, resolusi film ini memberikan berbagai pesan: untuk “merangkul” takdir, pentingnya mengalami sesuatu secara langsung, dan bahwa kebahagiaan dalam hidup adalah hal yang layak dialami sekalipun bersifat sementara. Namun, dari sudut pandang filosofis hal ini menimbulkan pertanyaan baru: apakah manusia benar-benar punya kehendak bebas? 

“Jika kau bisa mengetahui alur hidupmu dari awal sampai akhir, akankah kamu mengubahnya?”
Kalimat yang diucapkan Louise Banks di akhir film mengindikasikan adanya kemungkinan manusia bisa mengubah alur hidup yang telah ditentukan sebelumnya. Namun ia memutuskan untuk menerima takdir dan menjaga rangkaian peristiwa tersebut. 

Keberadaan free will ini telah menjadi perdebatan filosofis sejak lama, dan nampaknya takkan berakhir. Solusi masalah ini dijabarkan lebih jelas dalam versi cerita pendek dibandingkan versi film: bahwa kehendak bebas itu nyata dalam konteks kesadaran sekuensial. Namun dalam moda kesadaran serentak, batas-batas antara kebebasan dan keterpaksaan mengabur. Keduanya sahih dalam konteks yang berbeda. Kerangka berpikir dan berperilaku heptapod dijabarkan lebih jelas di cerita pendek The Story of Your Life: tujuan-tujuan kolektif mereka selaras dengan kronologi sejarah yang sudah ada. Mereka hidup hanya untuk menjadi lakon dalam guratan naskah sejarah yang dapat mereka baca.

Film mencapai titik lempar terjauhnya pada pengungkapan bahwa heptapod datang ke Bumi untuk menghadiahkan bahasa mereka kepada manusia, dan sebuah rumus kompleks yang tidak dijelaskan fungsinya dalam film. Dibekali kunci untuk masa depan, para manusia diharapkan untuk membantu para heptapod tiga ribu tahun kemudian. 

PENUTUP
 
Dalam kilasan-kilasan masa depannya, ditampilkan bahwa Louise Banks akan menerbitkan buku mengenai bahasa heptapod, dan mengajarkannya kepada masyarakat. Banyak konsekuensi akan peristiwa ini yang tidak diceritakan dalam film, yang dapat dimaklumi, mengingat tujuan film ini hanyalah untuk menceritakan perjalanan Louise sendiri. Namun, apa yang akan terjadi jika sebagian besar populasi manusia menguasai bahasa heptapod dan mampu melihat masa depan? Apakah keadaan akan damai sejahtera karena mereka memegang “resep menyelamatkan dunia”, atau justru manusia masih akan memulai peperangan dan bencana kemanusiaan hanya demi melakonkan realita yang tertera? Bagaimana dengan orang-orang yang akan melakukan banyak hal yang mereka tidak pahami hanya karena mereka melihat diri mereka melakukan hal tersebut di masa depan? Apakah otak manusia bisa berevolusi menjadi serupa dengan heptapod, atau mereka hanya akan mengadaptasi cara berpikir ini sampai batas tertentu? 

Secara garis besar, Arrival dieksekusi dengan apik sehingga pesan di balik film tersampaikan, namun masih meninggalkan ruang spekulasi yang menyenangkan. 

Sumber: Deadpool UI



Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan

Subjektivitas dalam Ajaran Jedi dan Pengekangan Subjek oleh Sith



oleh Nauval Zharkhov El-Hessan | Mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia, Fanboy 

Saya baru menemukan sebuah tulisan menarik seputar Star Wars. Ditulis oleh Fajar Aji, mahasiswa program studi ilmu filsafat, Universitas Indonesia, dan dimuat di official account Deadpoøl Universitas Indonesia. Secara ringkas, tulisan yang berjudul “Star Wars dan Penindasan Subyektifitas Individu” mencoba membandingkan antara ajaran Sith dan Jedi. Penulis menyatakan bahwa ajaran Jedi pada hakikatnya adalah harmoni, sesuai dengan kode yang mereka yakini yang selalu diawali dengan kata “Tidak ada” (There is no…). Lebih lengkapnya, penulis menyatakan, “… Jedi adalah kumpulan pengguna Force yang berusaha untuk menjaga hidupnya agar tetap stabil sehingga menciptakan harmoni antar tiap makhluk hidup yang memang terhubung juga dalam satu medan energi  Force.”. Setelah mengungkapkan itu, kemudian penulis menyatakan bahwa konsekuensi ajaran Jedi adalah mengekang individu hanya demi mencapai harmoni yang ingin mereka capai.

Berbeda dengan Sith. Bagi penulis, Sith sangat mendukung cara kerja alamiah pemikiran manusia. Sith, dengan segala kodenya yang berakhir dengan “The Force shall set me free” memiliki konsekuensi logis yaitu membuat individu berhak melakukan apa yang dia inginkan, “Akan, tetapi kita akan bisa melihat bagaimana para kesatria Sith berusaha selalu menjadi lebih kuat dan meraih kemenangan, paling tidak atas dirinya sendiri, kemudian pada akhirnya membebaskan diri mereka dari rantai yang membelenggu mereka.”. Akan tetapi, apakah benar Jedi mengekang individu dan membenarkan harmoni? Apakah memang Sith membebaskan hak individu terutama setiap disciple-nya?

Subjek dalam Ajaran Sith dan Jedi

Ajaran Jedi sebenarnya simpel. Mereka mengedepankan harmoni di atas kekacauan. Mengedepankan perdamaian di atas peperangan. Oleh karena itu, setiap tugas yang diberikan kepada anggota baru Jedi selalu berkaitan dengan diplomasi dan negosiasi. Konflik adalah jalan terakhir. Idealis dalam artian mereka tidak ingin terlibat dalam konflik secara langsung.

Sementara ajaran Sith berkebalikan dengan ajaran Jedi. Mereka menggunakan The Force untuk menambah kekuatan mereka sendiri dan menundukkan orang lain yang dianggap lemah. Tidak ada pengetahuan terlarang dalam Sith. Sementara pada Jedi masih ada pembatasan pengetahuan. Oleh karena itu, banyak sekali Sith yang kuat bahkan lebih kuat dari Jedi secara kekuatan fisik. Paling terkenal adalah Lord Vitiate atau Valkorion yang hadir pada trailer berjudul Sacrifice untuk expansion pack pada permainan Star Wars: The Old Republic (2011). Dia menciptakan kekacauan skala galaksi hanya untuk menjadikan dirinya kekal. Dia juga bisa menundukkan para Sith Lord di usianya yang masih muda. Dia pun terkenal dengan Eternal Empire-nya yang bertahan hingga seribu tahun lamanya bahkan dikenal sebagai Sith Emperor yang berkuasa paling lama di galaksi.

Secara sekilas, Jedi terlihat mengekang individu atau subjek sementara Sith tidak. Hal ini bisa dilihat dari peraturan Sith yang dibuat oleh Darth Bane, yaitu rule of two. Penyebutan rule of two ada pada serial televisi Star Wars The Clone Wars (2008-2014) Season 6 Episode 13. Dalam peraturan tersebut, hanya boleh ada dua Sith dalam satu waktu, master dan padawan. Akan tetapi, padawan diperbolehkan membunuh master-nya bila memang sudah mampu untuk melakukannya atau bila padawan menganggap sang master tidak mampu dalam mengemban ajaran Sith.

Bila dilihat lebih dalam lagi, sebenarnya Jedi justru mengedepankan pendapat individu atau subjek. Ini dibuktikan sendiri oleh banyaknya anggota Jedi yang keluar dari Ordo Jedi dan mereka tidak diburu selama mereka tidak menganggu harmoni. Misalkan saja Ahsoka Tano, padawan Anakin Skywalker pada serial Star Wars The Clone Wars Season 5 Episode 17 sampai 20. Dia keluar dari Ordo Jedi karena dituduh telah membunuh seorang tawanan dan Jedi tidak melakukan pembelaan apa-apa melainkan justru mendukung tuduhan itu. Akan tetapi Tano tidak diburu. Bahkan dia mendukung Pemberontakan di serial Star Wars Rebels (2014-sekarang) Season 1 dan 2. Hal serupa juga terjadi pada permainan Star Wars Knights of the Old Republic II: The Sith Lords (2004). Ada seorang ex-Jedi bernama Kreia. Dia kecewa dengan ajaran Jedi dan memutuskan untuk mendirikan sebuah Sith Academy bernama Sith Triumvirate di puing-puing Malachor V. Tidak ada satu Jedi pun yang tertarik untuk menghancurkan Kreia - yang kemudian dikenal sebagai Darth Traya - karena dia tidak berambisi dalam mengacaukan keseimbangan galaksi atau the Force. Seorang Jedi bernama Meetra Surik ingin menghancurkan ajaran Sith yang dibuat oleh Kreia setelah mengetahui bahwa dua padawan Kreia, Darth Nihilus dan Darth Sion terbukti memiliki ambisi dalam menghancurkan Republic dan Jedi.

Berbeda dengan Sith. Mereka sangat membatasi gerak individu. Dengan ambisinya, mereka tidak ingin ada yang menyaingi mereka. Walaupun berdiri sebuah kekaisaran dan sebuah council, tapi hal itu tidak menafikan bahwa Sith terkuat begitu mengopresi Sith yang lemah. Lihat kembali rule of two. Tidak boleh ada lebih dari dua Sith dalam satu waktu. Bila ada, maka salah satu harus dibunuh. Contohnya adalah kejadian pada permainan Star Wars: The Force Unleashed (2008). Darth Vader mengangkat seorang anak Jedi bernama Galen Marek (dikenal juga sebagai Starkiller) menjadi padawan-nya. Akan tetapi, kemudian Darth Sidious mengetahuinya dan menyuruh Vader membunuh Marek atau Sidious sendiri yang akan membunuh Marek atau Vader. Jedi tidak demikian. Lihat Episode I ketika Qui-Gon Jinn dan Obi-Wan Kenobi meminta Anakin untuk menjadi padawan baru. Awalnya ditolak oleh Jedi Council dengan alasan “terlalu tua”, namun di akhir Episode I, Yoda menyetujui permintaan Obi-Wan.

Penutup

Ajaran Jedi dan Sith tidak seperti yang diasumsikan oleh Fajar Aji, yaitu Jedi mengekang individu dan Sith membebaskan individu atau subjek. Justru sebaliknya, Jedi sangat mengangkat sisi subjektivitas anggotanya. Setiap pendapat anggota pasti didengarkan. Jedi bukan mengekang subjek, melainkan mengajak subjek untuk mengikuti proses pembelajaran demi mencapai kesempurnaan pengetahuan akan The Force.

Sith pun memiliki proses pembelajaran tersebut. Bahkan, beberapa Sith Lord tidak mau membagi pengetahuannya. Mereka mengopresi siapa pun yang berani bertanya akan pengetahuan yang dimiliki. Bagi Jedi, pertanyaan itu wajar. Hanya saja pertanyaan harus dibatasi sesuai dengan tahapan yang sudah dicapai oleh seorang Jedi. Bahkan Jedi seperti Yoda pun pada akhirnya memperbolehkan sebagian sisi gelap diterapkan oleh Jedi karena bagian dari pengetahuan the Force itu sendiri. Sementara Sith, sampai kapan pun tidak pernah memperbolehkan padawan-nya memakai cara sisi terang seperti belas kasihan kepada musuh dan cinta. Dalam ajaran Jedi, bukan cinta yang dilarang, melainkan keterikatan terhadap yang dicintai.

Sumber: Deadpool UI


Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan

STAR WARS DAN PENINDASAN SUBYEKTIFITAS INDIVIDU



oleh Fajar Bayu Aji | Director of Human Resource Deadpoøl Universitas Indonesia, Mahasiswa Filsafat UI

Star Wars, yang merupakan sebuah mahakarya industri perfilman Hollywood, merupakan sebuah tonggak awal berkembangnya genre fiksi ilmiah dalam sejarah perfilman dunia. Menceritakan tentang pertarungan abadi antara dua golongan pengguna The Force, yang merupakan medan energi yang menghubungkan semua makhuk hidup satu dengan lainnya, dengan falsafahnya masing-masing. Di dalam jalan cerita, dikisahkan Jedi, golongan pengguna Force yang lebih mementingkan harmoni dibandingkan kekuasaan, berusaha menghentikan dominasi Sith, golongan pengguna Force dengan kekuasaan sebagai prioritas utama, yang sudah mengusai seluruh jagat raya.  

Dalam dunia yang dikisahkan Star Wars, masing-masing dari golongan tersebut memiliki “aturan dasar” yang menjadi pegangan atau falsafah yang dijalankannya. Meskipun Jedi digambarkan sebagai protagonis yang mengingan kedamaian diatas dominasi Sith, namun aturan dasar yang dianut Jedi mengandung kode moral yang bisa jadi menindas subyektifitas para pengikut, anggota atau kesatria Jedi itu sendiri. Dugaan yang muncul ini pun juga didukung oleh penghianatan Anakin Skywalker, seorang padawanJedi (Jedi yang masih dalam masa pelatihan), terhadap golongannya. Karena merasa dirinya patut memperjuangkan keinginannya untuk melindungi keluarga dan orang-orang yang dicintainya, yang kemudian merubahnya menjadi Darth Vader, seorang Sith terkuat dan menjadi musuh terbesar golongan Jedi, juga menjadi tokoh utama terbentuknya Galactic Empire kerajaan yang dibentuk golongan Sith untuk menguasai jagat raya.  

Sebagai sebuah golongan yang besar dan memiliki ajarannya sendiri, Jedi memiliki sebuah pandangan dasar atau falsafah yang dijadikan dasar para kesatrianya dalam berperilaku dan mengambil keputusan. Pada dasarnya, ajaran dari falsafah ini mengharuskan bagi para kesatria Jedi untuk tidak menyerahkan dirinya kepada rasa amarah terhadap makhluk hidup lainnya – dikisahkan dalam seri film ini bahwa manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang berkesadaran – yang dapat menjaga mereka dari rasa takut dan “terjerumus” kedalam sisi gelap dari Force. Dengan kata lain, menjadi anggota atau kesatria Sith. 

“Tidak ada emosi, hanya ada kedamaian 
Tidak ada kebodohan, hanya ada pengetahuan 
Tidak ada gairah, hanya ada ketenangan 
Tidak ada kekacauan, hanya ada harmoni 
Tidak ada kematian, hanya ada The Force” 
-The Jedi Code (Star Wars: Dark Disciple)  

Jika kita melihat isi dari code tersebut, Jedi adalah kumpulan pengguna Force yang berusaha untuk menjaga hidupnya agar tetap stabil sehingga menciptakan harmoni antar tiap makhluk hidup yang memang terhubung juga dalam satu medan energi Force. Akan tetapi, dalam menjalankan ini para Jedi mengharuskan menutup diri mereka dari segala sifat-sifat kealamian manusia yang memang memiliki keenam hal yang dikatakan “tidak ada” dalam code tersebut. Dalam sejarah pemikiran yang berlangsung selama berabad-abad, banyak pemikiran yang mengatakan bahwa hal-hal yang disampaikan di atas merupakan hal yang dibutuhkan manusia agar terbebas dari segala penindasan-penindasan. Kita juga mungkin melihat bahwa tidak ada kecacatan dalam code ini untuk mewujudkan jagat raya yang damai, akan tetapi apa yang terjadi kepada Anakin Skywalker dalam kisah Star Wars ini menjadi contoh betapa ia ingin terbebas dari penindasan. Skywalker, yang merupakan seorang Padawan Jedi, merasa tertindas dengan ajaran Jedi dimana ia harus berusaha menahan emosi atau rasa cintanya terhadap Padme Amidala, yang kemudian menjadi istrinya. Berulang kali ia berusaha melindungi orang terkasihnya tersebut hingga dia menjadi Sith.  

“Kedamaian adalah sebuah kebohongan, hanya ada gairah
Dengan gairah, aku meraih kekuatan 
Dengan kekuatan, aku meraih kekuasaan 
Dengan kekuasaan, aku meraih kemenangan 
Dengan kemenangan, rantaiku (yang membelenggu) terlepas The Force akan membebaskanku” 
-Jalan Sith (Book of Sith: Secrets from The Dark Side)  

Di sisi lain, Sith memiliki falsafah yang mengajarkan bahwa Force seharusnya membuat manusa menjadi pribadi yang berkuasa atas dirinya sendiri dan menjadi bebas. Falsafah dari Sith mungkin akan terkesan arogan. Akan, tetapi kita akan bisa melihat bagaimana para kesatria Sith berusaha selalu menjadi lebih kuat dan meraih kemenangan, paling tidak atas dirinya sendiri, kemudian pada akhirnya membebaskan diri mereka dari rantai yang membelenggu mereka.  Star Wars memanglah memiliki kesan bagi seluruh penggemar dan jutaan pasang mata yang menyaksikannya. Seri film ini juga menjadi budaya populer yang mendunia dan menginspirasi banyak sineas perfilman di seluruh dunia untuk terus mengembangkan karyanya di genre fiksi ilmiah. Dipenuhi dengan drama dan aksi yang menakjubkan. Jika dilihat dari penjelasan yang sudah disampaikan, perjuangan yang dilakukan oleh Jedi dan Sith bukanlah perjuangan “benar” dan “salah”, melaikan perjuangan untuk dapatkan harmoni atau mendapatkan kebebasan subyektifitas.  

Kemudian, menjadi menarik bagaimana seri film ini memberikan nilai pembelajaran kepada penontonnya dengan tidak memberitahukan secara jelas manakah pihak yang benar dan mana yang salah. Perspektif yang digambarkan dalam film ini hanyalah golongan Jedi sebagai protagonis dan Sith sebagai antagonis, dimana istilah protagonis dan antagonis bukanlah istilah yang juga menjelaskan baik dan buruk. Namun, jika kita berkaca dengan apa yang disampaikan pemikiran-pemikiran yang berusaha untuk membebaskan subyektifitas dari segala belenggu penindasan adalah refleksi dari Sith yang memang memanfaatkan Force sebagai medan energi yang membebaskan mereka.

Sumber: Deadpool UI


Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan