(oleh Fajar Aji | Mahasiswa Filsafat UI)
Latar Belakang YouTube
YouTube adalah sebuah situs media sosial video yang bermarkas di San Bruno, California, Amerika Serikat. Didirikan oleh Steve Chen, Chad Hurley dan Jawed Karim, yang merupakan 3 mantan pegawai PayPal dan pertama kali diluncurkan pada Februari 2005, secara resmi pada bulan Desember. Ide awal dari ketiga founder dari YouTube ini cukup unik, Karim ketika itu merasa kesulitan karena video viral di Amerika ketika itu tidak bisa ia temukan, sedangkan Chen dan Hurley terinspirasi oleh situs kencan dan merasa penting bagi pengguna situs kencan untuk menaruh video sebagai promosi bagi diri mereka sendiri, dari dua ide yang cukup aneh tersebut terciptalah YouTube. Video pertama yang diunggah di situs ini berjudul Me at the Zoo, sebuah dokumentasi singkat dari Karim di Kebun Binatang San Diego. Setelah situs ini berkembang, Google kemudian mengakuisisi situs ini pada November 2006 dan hingga hari ini, YouTube adalah salah satu aset besar yang dimiliki perusahaan teknologi tersebut.
Dengan semakin besarnya YouTube sebagai wadah berbagi video, para content creator, atau sebutan lain untuk YouTuber, menjadi lebih kreatif dengan apa yang ingin sajikan. Sehingga banyak anggapan, YouTube adalah sebuah alternatif baru atas sajian visual dibandingkan dengan televisi. Konten yang disajikan kreator di YouTube sangatlah beragam. Dari konten positif seperti edukasi, musik, komedi, reactions, dan film pendek, dengan munculnya beberapa channel seperti Wisecrack, Game Theorist, Fine Brothers Entertainment, Boyce Avenue, Kurt Hugo Schneider dan Tyler Oakley. Hingga konten “negatif", seperti Dark Humor, social commentary, horor dan hal-hal yang masih dalam sirkulasi perdebatan sosial, dengan channel seperti iDubbbzTV, h3h3productions, dan tidak lupa, TVFilthyFrank. Para YouTuber ini kemudian mendapatkan penghasilan dari Google AdSense, dimana Google dengan para YouTuber melakukan kerjasama yang kemudian Google akan menaruh iklan pada awal, tengah atau akhir video, tergantung dari durasi video yang diunggah.
Censorship, Hyper reality, dan Privacy
YouTube sendiri bukanlah sebuah situs tanpa masalah. Beberapa persoalan seperti copyright and fair use serta censorship mengemuka diakhir-akhir ini. Seperti dalam dunia industri lainnya, dua permasalahan ini kemudian muncul ketika banyak YouTuber dalam proses pembuatan video mereka menggunakan musik atau potongan-potongan video dari pihak lain ataupun penggunaan kata-kata (yang bagi pihak YouTube) kasar ataupun tidak sesuai dengan community guideline. Dari segi copyright ataupun fair use, sebenarnya beberapa content creator di internet (entah di YouTube ataupun situs lainnya) biasanya menyantumkan bagaimana karya mereka hadir dalam ruang lingkup hak cipta. Akan tetapi, dalam beberapa kasus para YouTuber mengeluhkan beberapa copyright strike yang dilakukan YouTube tidak memiliki alasan jelas, juga terkadang pihak yang melancarkan strike tersebut justru bukanlah pihak yang bersangkutan. Tidak jarang juga dilancarkan pihak-pihak perusahaan besar dan bagi sebagian YouTuber ini adalah sebuah kelaliman YouTube untuk melindungi perusahaan besar. YouTube melakukan ini bukanlah tanpa dasar, banyak gugatan hukum atas hak cipta dilakukan beberapa organisasi seperti Viacom, Mediaset dan English Premier League berhasil membuat YouTube kalang kabut dengan biaya kerguian yang dapat mencapai milyaran Dollar Amerika. Gugatan tersebut, bisa jadi, adalah alasan mengapa perihal copyright dan fair use ini semakin diperketat.
Pada tahun 2016, permasalahan censorship menjadi perhatian utama setelah YouTube mengeluarkan (baca: menggalakkan) peraturan advertiser-friendly guidelines. Aturan ini kemudian semakin memperkuat asumsi YouTuber mengenai “YouTube berusaha menyenangkan perusahaan besar dan ‘uang’ mereka”. Peraturan ini mengandung kontroversi dengan adanya butir-butir aturan yang memiliki unsur ketidakjelasan di dalamnya, dari larangan penggunaan kata kasar, hingga larangan pembahasan konflik politik dan perang meskipun gambar atau video tidak ditunjukkan. Jika video memiliki unsur tersebut, maka video tersebut tidak akan bisa diiklankan. Jelas sekali YouTuber akan dirugikan, karena mereka tidak bisa mengeluarkan pendapat mereka akan suatu pembahasan politik dan juga kehilangan penghasilan mereka. Contoh yang paling jelas terjadi pada kasus ini terjadi pada salah satu YouTuber senior, Philip DeFranco dimana ia membahas beberapa berita terbaru dari dunia internet, teknologi, maupun sosial politik yang terjadi di Amerika dalam konten-konten videonya. Beberapa videonya tidak bisa diiklankan bahkan video lamanya dihilangkan penghasilan iklannya. Baginya ini adalah sebuah kekacauan, dia kemudian tidak merasa rugi karena dia bisa mendapatkan penghasilan lain dari merchandise yang ia jual serta beberapa endorsement. Akan tetapi, bagaimana dengan channel yang lebih kecil dengan pendapatan yang tidak sebesar Philip DeFranco?
Permasalahan konten pun menjadi salah satu yang diperhatikan dalam komunitas YouTube terutama para penonton. Dijelaskan sebelumnya, konten video di YouTube memiliki keberagaman dari sisi positif dan negatif. Klasifikasi konten ini didasarkan pada reaksi penonton, dapat berupa komentar ataupun berupa rasio like dan dislike. Video yang disajikan sisi negatif seringkali berupa social commentary dimana masyarakat sangat merasa dekat dengannya. TVFilthyFrank adalah salah satu contohnya, video-video dari channel ini biasanya berupa komentar seorang Filthy Frank mengenai hal-hal populer dan viral di internet. Seperti fenomena weeaboo yang terjadi di kalangan pecinta sub-kultur pop Jepang, hingga psychological disorder seperti depression serta penyakit seperti seizure dan lain sebagainya. Konten yang disajikan channel ini pastinya menimbulkan banyak komentar, dari yang menyetujui dan menyukainya, hingga yang membenci bahkan mengahrdik seorang Filthy Frank. Akan tetapi, semua yang ada di dalam channel TVFilthyFrank merupakan sebuah staged act belaka. Joji Miller (atau George Miller) adalah mastermind dari channel ini. Dalam deskripsi channel-nya ia menyampaikan bahwa Filthy Frank adalah tokoh dimana seseorang tidak seharusnya ada di dalam masyarakat, atau dengan kata lain Filthy Frank tidak mengindahkan apa yang disebut political correctness.
Hypereality, mungkin menjadi sebuah permasalahan yang bisa diangkat dalam permasalahan Filthy Frank. Garis batas antar realitas dan karakter menjadi jauh lebih tipis di dalam YouTube. Ketika kita menonton sebuah video dan kita menyaksikan seorang YouTuber berbicara dan menyampaikan sesuatu, kita selalu berpikir bahwa itulah yang dipikirkannya. Kita tidak melihat adanya kemungkinan bahwa apa yang kita lihat adalah sebuah rancangan. Kita tidak biasa melihat seseuatu yang “berkarakter” muncul di hadapan kita ketika melihat situs YouTube, dan dari sini kita seharusnya bisa menyadari hal tersebut. Dalam wawancaranya dalam TheNeedleDrop Podcast, George menyampaikan bahwa TVFilthyFrank merupakan sebuah komedi alternatif dan dihadirkan sebagai sebuah hiburan semata. Kemudian George juga menyayangkan bahwa penonton di YouTube tidak seperti di televisi, ketika orang melihat sesuatu yang hadir di TV mereka bisa memberikan batasan yang jelas. Mereka akan memaafkan Stephen Colbert ketika ia menjadi seorang konservatif ketika di TV, namun mengapa mereka tidak memaafkan seorang George Miller ketika menjadi Filthy Frank di YouTube?
Kita bisa mengatakan bahwa YouTube adalah sebuah alternatif hiburan. YouTube menyajikan konten yang dapat kita pilih sesuai preferensi kita. Ia bisa memberikan kita informasi yang bermanfaat hingga hiburan yang mungkin bagi beberapa orang tidak ada gunanya sama sekali. Namun, ketika ada ungkapan seperti “YouTube lebih dari TV,”? Saya cukup meragukan hal itu, karena YouTube dan TV adalah dua komponen media yang berbeda. Kita bisa berperan lebih di dalam YouTube, entah menjadi seorang content creator atau mungkin berbagi opini melalui comment section yang ada di setiap video.
Selain sensorsip, dan hiperealitas, privasi juga menjadi soal yang cukup sentral. Permasalahan ini tidak hanya terjadi dalam dunia YouTube, namun dalam dunia virtual secara umum. Ketidakjernihan melihat hiperealitas menyuplai keingintahuan yang mendalam atas figur yang tampil di YouTube. Hilangnya privasi salah satunya terjadi karena basis hiperealitas disama dan sebangunkan dengan realitas. Beberapa kasus tercatat seperti PewDiepie, seorang YouTuber terkemukan tiba-tiba didatangi oleh penggemar, yang bahkan seharusnya dia dan kru yang mengetahui kamar hotel yang sedang dia inapi. Permasalahan ini mengundang pertanyaan mengenai basis privasi dalam arsitektural ruang digital. Kita bisa menghilangkan identitas pengunggah dari satu video dalam YouTube. Namun jejak material dalam kosmologi digital tidak akan hilang, mereka akan tetap bisa mengetahui IP pengunggah, bahkan dengan melompatkannya memakai proksi, akan selalu ada residu ketermungkinan untuk dicacah memakai kodifikasi tertentu.
Cangkir Putih FIB UI
#HangatKebersamaan
#HangatKebersamaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar